Media Papua Pasca KTT ILWP
- Ditulis oleh Lamadi de Lamato
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT-I)
International Lawyers for West Papua (ILWP) yang digelar 2 Agustus 2011 lalu di
Oxford, London, Inggris, memang suaranya telah hilang. KTT yang mendorong
referendum Papua itu, sempat membuat suasana politik di Papua memanas. Memanas,
karena sempat memantik demo besar-besaran, yang menebar ancaman disintegrasi,
lepasnya Papua dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dari demo tersebut, teramat menarik kita
mengamati pemberitaan media yang ada. Tanpa mengenyampingkan media yang lain,
pemberitaan setidaknya 2 (dua) media yang mengklaim slogan yang pertama di
Papua; adalah Cenderawasih Pos dan Bintang Papua). Cenderawasih Pos menyebut
diri koran terbesar dan pertama di Papua. Sementara Bintang Papua adalah koran
digital pertama di Papua.
Dari usiapun, kedua koran ini terpaut sangat
jauh. Cenderawasih Pos lebih tua dan matang secara manajemen. Berbeda dengan Bintabg Papua, ia
koran yang relatif lebih muda lahir. Dari dua koran ini, kita bisa memotret,
mana koran yang memberi ruang lebih luas pada publik, dan mana koran yang hanya
diperuntukan hanya memoles citra program dan kebijakan para elit semata? Bukan
itu saja, kitapun dapat menilai, mana yang pro pada ideologi tertentu, dan mana
yang memberitakan fakta dan realitas otentik Papua? Dari pertanyaan di atas,
yang paling menarik adalah peran dua media di atas terkait dengan
pemberitaannya tentang ILWP yang berlangsung di London. Pertanyaannya, mengapa kita harus
menganalisa peran media (khususnya Cenderawasih Pos dan Bintang Papua) di
Papua? Sebelum menjawab beberapa pertanyaan kritis di atas, kita tentu tahu
peran media yakni sebagai penyokong demokratisasi dimanapun. Media adalah pilar
keempat dari berlangsungnya demokrasi disuatu negara. Sekedar menyebut 3 (tiga)
yang lain sebagai penyokong demokrasi; (1). Legislatif (DPR), (2) Eksekutif
(Pemerintah) dan (3). Yudikatif (Penegak hukum; Polisi, Jaksa, MA).
Pilar-pilar itu, saling kait mengkait dalam menciptakan konsolidasi demokrasi,
yang sampai saat ini telah berusia 11 tahun. Bangsa Indonesia baru benar-benar mulai
berdemokrasi secara terbuka setelah tumbangnya almarhum Presiden Soeharto pada
tahun 1998. Demokrasi Indonesia
sesungguhnya nasib baiknya terletak pada kontrol media. Disebut berada dipundak
media karena 3 (tiga) penyanggah di atas (eksekutif, legislatif dan yudikatif)
sampai saat ini harus diakui, mereka banyak yang tersandera dalam berbagai
kasus. Banyak hakim yang gampang disuap, banyak anggota dewan, bupati, gubernur
dan menteri yang kena kasus korupsi, suap dan lain-lain. Karena itu, harapan
demokrasi bertumbuh pada kontrol media, yang sampai saat ini, kontribusinya
masih tetap dianggap sangat baik.
Merujuk pada tugas mulia media tersebut, maka
alangkah naifnya bila masih ada media dalam pemberitaannya yang pro pada
kekuasaan yang korup, semena-mena dan mengabaikan jurnalisme yang objektif.
Sekedar menyebut contoh tentang pemberitaan Cenderawasih Pos pada tanggal 8
Agustus, 6 hari setelah demo mendukung ILWP di berbagai daerah diseluruh Papua.
Dalam Head Linenya; “Waspadai Misi Intelijen Luar Negeri di Papua”.
Cenderawasih Pos mengutip pernyataan pusat,
anggota DPR-RI, Mahfud Siddiq; “ Naiknya suhu politik dan kerusuhan di Papua
harus segera disikapi serius oleh pemerintah”. “Jika terlambat, eskalasi
kerusuhan itu bisa dimanfaatkan pihak asing untuk melepaskan Papua dari NKRI”.
“Ujung-ujungnya nanti ada desakan agar Papua dibuat seperti Timor-Leste”
tandasnya. Sepintas Head Line tersebut tidak punya pengaruh. Namun beberapa
rentetan kejadian yang menebar terror ketakutan seperti (1). Penembakan di
daerah Abepantai oleh orang tidak dikenal (OTK) pada tanggal 11 Desember 2011.
Penembakan ini merupakan kali ke-2 di daerah yang berbatasan dengan Kampung
Nafri. Penembakan pertama terjadi pada tanggal 1 Desember 2011.
(2). Kejadian penikaman yang terjadi di Buper
(Bumi Perkemahan) Waena, yang konon menewaskan beberapa korban. Dan beberapa
kejadian lain yang bernuansa SARA (Suku, Agama dan Ras). Kejadian-kejadian
tersebut, tanpa kita sadari, dengan cepat kini menjadi teror ditengah-tengah
masyarakat. Seolah-olah Papua telah berada dalam suasana mencekam. Dimana-mana
terjadi desas-desus dan rumor yang dikait-kaitkan dengan politik dan sentimen
lain (agama, suku, ras).
Dalam posisi seperti itu, media perlu sangat
hati-hati dalam menurunkan berita terkait dengan situasi politik tertentu. Apa
yang diberitakan Cenderawasih Pos di atas dengan mudah dapat diinterpretasi,
Cenderawasih Pos telah berpihak pada kelompok tertentu. Sekali lagi, Head Line
“Waspadai Misi Intelijen Luar Negeri” seolah-olah mendorong pihak dominan untuk
segera melakukan upaya kontra intelijen dalam menjaga keamanan Papua pasca ILWP
yang mulai tidak kondusif. Dalam tulisan “Gerakan Kontra Intelijen NKRI”,
penulis melihat bahwa negara dapat melakukan apapun dalam menjaga integrasi
NKRI di tanah Papua. “Negara tidak pernah tidur, dan apapun dapat dilakukannya
dalam rangka menjaga Papua dari disintegrasi bangsa” Melihat kencangnya gerakan
tuntutan referendum yang terjadi pada tanggal 2 Agustus 2011, maka tidak tertutup
kemungkinan beberapa rentetatan peristiwa itu adalah bagian dari upaya kontra
intelijen. Bila asumsi ini benar, maka ini serupa dengan apa yang pernah
disebut Michael Foucault dalam studi intelektualnya yang bernama hegemoni
wacana (Buku Wacana Kritis; Eriyanto, LKiS, 2005). Salah satu kerja hegemoni
adalah mempengaruhi opini publik melaui pemberitaan dan teks yang dibangun oleh
penguasa modal. Dalam pemberitaan Cepos di atas, memang tidak disebutkan secara
bulat-bulat bahwa mereka pro NKRI tapi sangat tampak tendensi opini yang
dibangunnya. Publik seolah-olah ingin dikondisikan untuk percaya pada peran
intelijen asing serta segera dilakukan upaya kontra intelijen dalam
membendungnya. Anehnya pasca pemberitaan tersebut, yang terjadi justru berbagai
kejadian yang dengan cepat menebar teror yang dikait-kaitkan dengan sentimen
politik tertentu. Bukan bermaksud menyalahkan media (Cenderawasih Pos) tapi
objektiflah dalam membuat berita ditengah situasi Papua yang penuh masalah.
Dalam banyak hal, kita melihat media di Papua sudah seperti malaikat, yang
tanpa dosa. Cek seluruh alamat kesalahan kegagalan Otsus tidak satupun
dibebankan pada media. Selama ini, kegagalan Otsus selalu yang disalahkan
adalah pemerintah daerah dan pusat. Padahal secara jujur, media juga punya
andil dalam berbagai dosa-dosa demokrasi yang ada di tanah Papua. Masih sekedar
menyebut contoh, tepat dalam bulan puasa tahun 2010, setahun yang silam, pernah
ada berita yang memuat pernyataan pemerintah pusat terkait dengan evaluasi
Otsus. Disebutkan, bahwa; “Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Berjanji
Akan Mengevaluasi Otsus Papua Pasca Ramadhan 2010”. Evaluasi Otsus itu ternyata
hanya janji-janji omdo (omong doang). Sekarang ini sudah tahun 2011 dan tepat
bulan ramadhan yang kesatu tahun tapi evaluasi itu tidak kunjung tiba. Padahal
Papua sangat membutuhkan evaluasi menyeluruh tersebut. Bila kita mau
mencari-cari kesalahan, maka medialah yang patut disalahkan sehingga
janji-janji itu cuma omdo saja.
Seharusnya media Papua pro aktif menanyakan kapan
evaluasi Otsus itu dilaksanakan. Tidak pro aktifnya pers di Papua dalam
mengejar janji-janji tersebut, sangat pantas kita menyalahkan media yang lemah
dalam melakukan fungsi kontrolnya di tanah Papua. Ditengah lemahnya tiga fungsi
institusi di atas, sebenarnya pers Papua harus tampil memberi pencerahan dengan
menjadi jembatan perubahan yang jujur. Dalam cerita yang lain, pers pernah
tampil sebagai pahlawan dalam memberitakan fakta kemiskinan akibat dampak dari
praktek bernegara yang buruk. Bagaimana tidak buruk, dua wilayah yang
berdekatan hidup sangat kontras. Yang satunya kelebihan pangan sementara yang
satunya hidup dalam krisis pangan, yang mengakibatkan gizi buruk terjadi secara
meluas. Kondisi tersebut dapat dipecahkan setelah media menggugah semua pihak
untuk turun tangan menyelesaikan masalah kemiskinan didaerah yang masih satu
wilayah tersebut. (Amartya Sen; Masih Adakah Harapan Bagi Rakyat Miskin, 2008).
Merujuk pada karakter media khusus Cenderawasih Pos yang punya citra sosial
terbesar di Papua, maka diperoleh kesimpulan; (1). Pers di Papua masih
berorientasi pada kapital sehingga kecenderungan pemberitaannya masih bersifat
seremonial, memoles pencitraan dan pro pada idiologi tertentu. (2). Pers di
Papua belum mampu membangun wawasan kepada pekerja jurnalistiknya (wartawan)
bertugas memecahkan masalah-masalah yang melilit masyarakat Papua.
Dari setidaknya 2 (dua) masalah yang menyandera
tersebut, wajar bila ada sebagian kalangan menyebut orientasi pers di Papua
bukan mencerahkan tapi justru hanya mengejar rente yang pro pada kapitalis.
Ciri dari pemberitaan yang bersifat kapitalis adalah menghegemoni, memoles
pencitraan dan menancapkan pengaruh ideologi tertentu dalam masyarakat pembaca.
Karena itu tidak berlebihan bila pers juga harus bertanggung jawab terhadap
setiap persoalan yang tejadi di tanah Papua. Berpijak pada kenyataan tersebut,
maka pers di Papua perlu mereorientasi perannya dengan tampil lebih objektif,
terbuka dan seimbang. Bahkan jangan ragu memberi ruang seluas-luasnya pada publik
untuk bicara tentang realitas yang sesugguhnya. Dengan cara seperti itu, kita
harapkan berbagai problem di Papua dapat diungkap secara transparan melalui
saluran demokrasi yang telah banyak terbukti mampu memecahkan masalah bangsa
diseluruh dunia. Pers disebut saluran demokrasi karena ia satu-satunya
penyanggah demokrasi yang relatif bisa diharapkan memecahkan masalah apapun di
Papua secara baik. Satu kecenderungan media di Papua yang rawan disandera
kapitalis yang harus dihindari adalah; ketika besar ia akan tergoda dengan
berbagai rayuan.
Tidak ingin menyebut nama, tapi media ini dalam
waktu yang relatif baru, mampu memberi ruang bagi publik terlibat dalam melihat
fakta yang sesungguhnya ada di Papua. Biasanya setelah seluruh masalah terbuka,
maka akan diikuti dengan solusi pemecahan yang komprehensif. Pemberitaan yang
relatif terbuka pasca KTT ILWP sebulan ini (rentetan kekerasan) mampu membuka
mata publik menilai apapun yang terjadi secara transparan. Memang suasana lebih
rentan, tapi ini jauh lebih baik daripada yang terjadi adalah meluasnya
desas-desus mapun isu-isu liar yang tidak jelas sumbernya dan rawan memantik
konflik secara luas.
Penulis adalah Direktur La-Keda Institute, Papua
BP, Senin, 05 September 2011 20:53
0 komentar:
Post a Comment