Tuesday, January 17, 2012

Perspektif Internasional


 Media Papua Pasca KTT ILWP
- Ditulis oleh Lamadi de Lamato
 Konferensi Tingkat Tinggi (KTT-I) International Lawyers for West Papua (ILWP) yang digelar 2 Agustus 2011 lalu di Oxford, London, Inggris, memang suaranya telah hilang. KTT yang mendorong referendum Papua itu, sempat membuat suasana politik di Papua memanas. Memanas, karena sempat memantik demo besar-besaran, yang menebar ancaman disintegrasi, lepasnya Papua dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dari demo tersebut, teramat menarik kita mengamati pemberitaan media yang ada. Tanpa mengenyampingkan media yang lain, pemberitaan setidaknya 2 (dua) media yang mengklaim slogan yang pertama di Papua; adalah Cenderawasih Pos dan Bintang Papua). Cenderawasih Pos menyebut diri koran terbesar dan pertama di Papua. Sementara Bintang Papua adalah koran digital pertama di Papua.
Dari usiapun, kedua koran ini terpaut sangat jauh. Cenderawasih Pos lebih tua dan matang secara manajemen. Berbeda dengan Bintabg Papua, ia koran yang relatif lebih muda lahir. Dari dua koran ini, kita bisa memotret, mana koran yang memberi ruang lebih luas pada publik, dan mana koran yang hanya diperuntukan hanya memoles citra program dan kebijakan para elit semata? Bukan itu saja, kitapun dapat menilai, mana yang pro pada ideologi tertentu, dan mana yang memberitakan fakta dan realitas otentik Papua? Dari pertanyaan di atas, yang paling menarik adalah peran dua media di atas terkait dengan pemberitaannya tentang ILWP yang berlangsung di London. Pertanyaannya, mengapa kita harus menganalisa peran media (khususnya Cenderawasih Pos dan Bintang Papua) di Papua? Sebelum menjawab beberapa pertanyaan kritis di atas, kita tentu tahu peran media yakni sebagai penyokong demokratisasi dimanapun. Media adalah pilar keempat dari berlangsungnya demokrasi disuatu negara. Sekedar menyebut 3 (tiga) yang lain sebagai penyokong demokrasi; (1). Legislatif (DPR), (2) Eksekutif (Pemerintah) dan (3). Yudikatif (Penegak hukum; Polisi, Jaksa, MA). Pilar-pilar itu, saling kait mengkait dalam menciptakan konsolidasi demokrasi, yang sampai saat ini telah berusia 11 tahun. Bangsa Indonesia baru benar-benar mulai berdemokrasi secara terbuka setelah tumbangnya almarhum Presiden Soeharto pada tahun 1998. Demokrasi Indonesia sesungguhnya nasib baiknya terletak pada kontrol media. Disebut berada dipundak media karena 3 (tiga) penyanggah di atas (eksekutif, legislatif dan yudikatif) sampai saat ini harus diakui, mereka banyak yang tersandera dalam berbagai kasus. Banyak hakim yang gampang disuap, banyak anggota dewan, bupati, gubernur dan menteri yang kena kasus korupsi, suap dan lain-lain. Karena itu, harapan demokrasi bertumbuh pada kontrol media, yang sampai saat ini, kontribusinya masih tetap dianggap sangat baik.
Merujuk pada tugas mulia media tersebut, maka alangkah naifnya bila masih ada media dalam pemberitaannya yang pro pada kekuasaan yang korup, semena-mena dan mengabaikan jurnalisme yang objektif. Sekedar menyebut contoh tentang pemberitaan Cenderawasih Pos pada tanggal 8 Agustus, 6 hari setelah demo mendukung ILWP di berbagai daerah diseluruh Papua. Dalam Head Linenya; “Waspadai Misi Intelijen Luar Negeri di Papua”.
Cenderawasih Pos mengutip pernyataan pusat, anggota DPR-RI, Mahfud Siddiq; “ Naiknya suhu politik dan kerusuhan di Papua harus segera disikapi serius oleh pemerintah”. “Jika terlambat, eskalasi kerusuhan itu bisa dimanfaatkan pihak asing untuk melepaskan Papua dari NKRI”. “Ujung-ujungnya nanti ada desakan agar Papua dibuat seperti Timor-Leste” tandasnya. Sepintas Head Line tersebut tidak punya pengaruh. Namun beberapa rentetan kejadian yang menebar terror ketakutan seperti (1). Penembakan di daerah Abepantai oleh orang tidak dikenal (OTK) pada tanggal 11 Desember 2011. Penembakan ini merupakan kali ke-2 di daerah yang berbatasan dengan Kampung Nafri. Penembakan pertama terjadi pada tanggal 1 Desember 2011.
(2). Kejadian penikaman yang terjadi di Buper (Bumi Perkemahan) Waena, yang konon menewaskan beberapa korban. Dan beberapa kejadian lain yang bernuansa SARA (Suku, Agama dan Ras). Kejadian-kejadian tersebut, tanpa kita sadari, dengan cepat kini menjadi teror ditengah-tengah masyarakat. Seolah-olah Papua telah berada dalam suasana mencekam. Dimana-mana terjadi desas-desus dan rumor yang dikait-kaitkan dengan politik dan sentimen lain (agama, suku, ras).
Dalam posisi seperti itu, media perlu sangat hati-hati dalam menurunkan berita terkait dengan situasi politik tertentu. Apa yang diberitakan Cenderawasih Pos di atas dengan mudah dapat diinterpretasi, Cenderawasih Pos telah berpihak pada kelompok tertentu. Sekali lagi, Head Line “Waspadai Misi Intelijen Luar Negeri” seolah-olah mendorong pihak dominan untuk segera melakukan upaya kontra intelijen dalam menjaga keamanan Papua pasca ILWP yang mulai tidak kondusif. Dalam tulisan “Gerakan Kontra Intelijen NKRI”, penulis melihat bahwa negara dapat melakukan apapun dalam menjaga integrasi NKRI di tanah Papua. “Negara tidak pernah tidur, dan apapun dapat dilakukannya dalam rangka menjaga Papua dari disintegrasi bangsa” Melihat kencangnya gerakan tuntutan referendum yang terjadi pada tanggal 2 Agustus 2011, maka tidak tertutup kemungkinan beberapa rentetatan peristiwa itu adalah bagian dari upaya kontra intelijen. Bila asumsi ini benar, maka ini serupa dengan apa yang pernah disebut Michael Foucault dalam studi intelektualnya yang bernama hegemoni wacana (Buku Wacana Kritis; Eriyanto, LKiS, 2005). Salah satu kerja hegemoni adalah mempengaruhi opini publik melaui pemberitaan dan teks yang dibangun oleh penguasa modal. Dalam pemberitaan Cepos di atas, memang tidak disebutkan secara bulat-bulat bahwa mereka pro NKRI tapi sangat tampak tendensi opini yang dibangunnya. Publik seolah-olah ingin dikondisikan untuk percaya pada peran intelijen asing serta segera dilakukan upaya kontra intelijen dalam membendungnya. Anehnya pasca pemberitaan tersebut, yang terjadi justru berbagai kejadian yang dengan cepat menebar teror yang dikait-kaitkan dengan sentimen politik tertentu. Bukan bermaksud menyalahkan media (Cenderawasih Pos) tapi objektiflah dalam membuat berita ditengah situasi Papua yang penuh masalah. Dalam banyak hal, kita melihat media di Papua sudah seperti malaikat, yang tanpa dosa. Cek seluruh alamat kesalahan kegagalan Otsus tidak satupun dibebankan pada media. Selama ini, kegagalan Otsus selalu yang disalahkan adalah pemerintah daerah dan pusat. Padahal secara jujur, media juga punya andil dalam berbagai dosa-dosa demokrasi yang ada di tanah Papua. Masih sekedar menyebut contoh, tepat dalam bulan puasa tahun 2010, setahun yang silam, pernah ada berita yang memuat pernyataan pemerintah pusat terkait dengan evaluasi Otsus. Disebutkan, bahwa; “Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Berjanji Akan Mengevaluasi Otsus Papua Pasca Ramadhan 2010”. Evaluasi Otsus itu ternyata hanya janji-janji omdo (omong doang). Sekarang ini sudah tahun 2011 dan tepat bulan ramadhan yang kesatu tahun tapi evaluasi itu tidak kunjung tiba. Padahal Papua sangat membutuhkan evaluasi menyeluruh tersebut. Bila kita mau mencari-cari kesalahan, maka medialah yang patut disalahkan sehingga janji-janji itu cuma omdo saja.
Seharusnya media Papua pro aktif menanyakan kapan evaluasi Otsus itu dilaksanakan. Tidak pro aktifnya pers di Papua dalam mengejar janji-janji tersebut, sangat pantas kita menyalahkan media yang lemah dalam melakukan fungsi kontrolnya di tanah Papua. Ditengah lemahnya tiga fungsi institusi di atas, sebenarnya pers Papua harus tampil memberi pencerahan dengan menjadi jembatan perubahan yang jujur. Dalam cerita yang lain, pers pernah tampil sebagai pahlawan dalam memberitakan fakta kemiskinan akibat dampak dari praktek bernegara yang buruk. Bagaimana tidak buruk, dua wilayah yang berdekatan hidup sangat kontras. Yang satunya kelebihan pangan sementara yang satunya hidup dalam krisis pangan, yang mengakibatkan gizi buruk terjadi secara meluas. Kondisi tersebut dapat dipecahkan setelah media menggugah semua pihak untuk turun tangan menyelesaikan masalah kemiskinan didaerah yang masih satu wilayah tersebut. (Amartya Sen; Masih Adakah Harapan Bagi Rakyat Miskin, 2008). Merujuk pada karakter media khusus Cenderawasih Pos yang punya citra sosial terbesar di Papua, maka diperoleh kesimpulan; (1). Pers di Papua masih berorientasi pada kapital sehingga kecenderungan pemberitaannya masih bersifat seremonial, memoles pencitraan dan pro pada idiologi tertentu. (2). Pers di Papua belum mampu membangun wawasan kepada pekerja jurnalistiknya (wartawan) bertugas memecahkan masalah-masalah yang melilit masyarakat Papua.
Dari setidaknya 2 (dua) masalah yang menyandera tersebut, wajar bila ada sebagian kalangan menyebut orientasi pers di Papua bukan mencerahkan tapi justru hanya mengejar rente yang pro pada kapitalis. Ciri dari pemberitaan yang bersifat kapitalis adalah menghegemoni, memoles pencitraan dan menancapkan pengaruh ideologi tertentu dalam masyarakat pembaca. Karena itu tidak berlebihan bila pers juga harus bertanggung jawab terhadap setiap persoalan yang tejadi di tanah Papua. Berpijak pada kenyataan tersebut, maka pers di Papua perlu mereorientasi perannya dengan tampil lebih objektif, terbuka dan seimbang. Bahkan jangan ragu memberi ruang seluas-luasnya pada publik untuk bicara tentang realitas yang sesugguhnya. Dengan cara seperti itu, kita harapkan berbagai problem di Papua dapat diungkap secara transparan melalui saluran demokrasi yang telah banyak terbukti mampu memecahkan masalah bangsa diseluruh dunia. Pers disebut saluran demokrasi karena ia satu-satunya penyanggah demokrasi yang relatif bisa diharapkan memecahkan masalah apapun di Papua secara baik. Satu kecenderungan media di Papua yang rawan disandera kapitalis yang harus dihindari adalah; ketika besar ia akan tergoda dengan berbagai rayuan.
Tidak ingin menyebut nama, tapi media ini dalam waktu yang relatif baru, mampu memberi ruang bagi publik terlibat dalam melihat fakta yang sesungguhnya ada di Papua. Biasanya setelah seluruh masalah terbuka, maka akan diikuti dengan solusi pemecahan yang komprehensif. Pemberitaan yang relatif terbuka pasca KTT ILWP sebulan ini (rentetan kekerasan) mampu membuka mata publik menilai apapun yang terjadi secara transparan. Memang suasana lebih rentan, tapi ini jauh lebih baik daripada yang terjadi adalah meluasnya desas-desus mapun isu-isu liar yang tidak jelas sumbernya dan rawan memantik konflik secara luas.
Penulis adalah Direktur La-Keda Institute, Papua BP, Senin, 05 September 2011 20:53

0 komentar:

Post a Comment