JAYAPURA—Seperti yang direncanakan sebelumnya,
Jumat (18/6) kemarin ribuan masyarakat dari 7 wilayah adat di Provinsi Papua,
serta elemen masyarakat, melakukan long march (berjalan kaki) dari Kantor MRP
Kotaraja menuju DPRD untuk menyerahkan 11 hasil pleno Musyawarah Besar (Mubes)
MRP bersama masyarakat adat Papua, diantaranya keinginan rakyat Papua menuntut
referendum. Ribuan massa
sejak pagi hari berkumpul di Kantor MRP di Kotaraja selanjutnya berjalan kaki
(long march) menuju ke Gedung DPRP. Diantara massa itu terlihat Ketua MRP Agus Alua.
v Sebelas hasil keputusan Mubes MRP dan Masyarakat Adat
yang diserahkan perwakilan masyarakat adat yang diterima oleh DPRP, diwakili
Wakil Ketua I, Yunus Wonda, di DPRD Jumat (18/6) kemarin.
. Rombongan masyarakat yang memakai busana adat,
bahkan sejumlah pria memakai koteka. Saat tiba di Halaman Gedung DPRP, massa
membentang sejumlah spanduk, yang antara lain bertuliskan UU No 21 Tahun 2001
tentang Otsus bagi Provinsi Papua telah gagal total tak ada solusi kecuali
Papua merdeka, Referendum solusi terakhir bangsa Papua Barat, Otsus gagal hak
hidup rakyat Papua terancam.
Koordinator aksi Pdt John Baransano pada saat itu
mengajak masyarakat pendemo mengepalkan tangan sebagai simbol perkabungan bagi
rakyat Papua sembari mengajak massa
menyeruhkan Papua Merdeka, Papua Merdeka. “Mari kita berjuang melawan
penindasan tanpa melakuka kekerasan,” tukas Baransano. Beberapa saat kemudian
pimpinan dan anggota DPRP antara lain Yunus Wonda, Ruben Magay, Thomas
Sondegau, Bob Pattipawae, Nasson Utti dan lain lain turun dari lantai dua
menemui massa. Salah seorang penggagas hasil Mubes MRP, Dr Benny Giay
menegaskan, pihaknya berada di tempat ini, karena satu berjuangan untuk
mengembalikan Otsus, merebut kembali harga diri bangsa Papua, merebut kembali
hak- hak rakyat Papua yang dirampas. Selanjutnya Giay dituntun Pdt John
Baransano menyalahkan sebuah lilin sebagai suatu simbol mengenang para leluhur
yang telah pergi selama lamanya demi membela hak- hak rakyat Papua.
“Kami bukan bangsa bodoh seperti yang engkau
pikirkan,” ucap Giay disambut pekikan merdeka dari massa. Ketua Komisi DPRP Ruben Magay
menandaskan, tuntunan referendum adalah bagian dari akumulasi kegagalan
kebijakan negara untuk melakukan evaluasi total dalam membangun rakyat Papua.
“Referendum adalah jalan keluar yang menentukan masa depan rakyat Papua,” tutur
politisi Partai Demokrat ini. Menurutnya, kalau masyarakat telah melakukan
tuntutan referendum terhadap apa yang telah dikerjakan. Hal ini berpulang
kepada kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat yang selama ini masa
bodoh. Pemerintah dinilai gagal membangun rakyat Papua. Hari ini orang masih
berbicara merdeka, OPM, separatis, referendum dan lain lain itu semua kegagalan
Negara, khususnya mereka yang mendapat tugas negara untuk membangun Papua.
“Kalau isu itu masih ada berarti mereka gagal mengindonesiakan Papua,” tukas
Magay. Senada dengan itu, Anggota Komisi C DPRP Tony Infandi STh mengemukakan,
tuntutan referendum adalah hal yang wajar dalam dunia internasional, apalagi
Indonesia adalah salah satu negara yang sedang subur suburnya menghidupkan
demokrasi, supermasi hukum, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan pers dan
perjuangan HAM dan lain lain. Pemerintah Indonesia tak boleh membatasi
aspirasi rakyat, tapi justru pemerintah harus menyambut dengan positif karena
aspirasi merupakan bagian dalam rangka mendapatkan pengakuan dari dunia
internasional bahwa NKRI tak kaku dalam menjalankan aspek aspek tersebut.
“Masih ada cukup banyak waktu bagi MRP untuk memperjuangkan aspirasi rakyat
Papua. Persoalannya adalah kembali kepada MRP bagaimana caranya memberdayakan
rakyat Papua dalam kontes tantanan negara dan pembangunan provinsi Papua
kedepan. Dikatakan pendeta Gereja Bethel Indonesia ini, jangan sampai hanya
gara gara SK MRP No 14 Tahun 2009 tak disetujui Mendagri lalu kemudian
mengambil langkah langkah yang dapat menyulitkan rakyat Papua sendiri karena
tak boleh ada kebijakan yang mengabaikan rakyat. “Apapun yang disampaikan
rakyat Papua mesti dapat ipertanggungjawabkan sesuai kebijakan dalam koridor
hukum yang berlaku,” tukasnya. (mdc/hen/ Ven )
Written by Bingtang Papua
Saturday, 19 June 2010 15:50
-----------
INILAH.COM, Jakarta
- Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi PDI perjungan TB Hasanuddin menilai
ancaman pengusiran Duta Besar Indonesia
untuk untuk Papua Nugini oleh Perdana Menteri Papua Nugini (PNG) Peter O'Neil
sangatlah berlebihan.
Pasalnya Pemerintah Indonesia
telah menjampaikan penjelasan resmi terkait intersepsi (pencegatan) pesawat
Falcon 900 yang ditumpangi Wakil Perdana Menteri PNG belden Namah ol; eh
pesawat TNI AU di kawasan udara Banjarmasin, Kalimantan. "Sikap perdana mentri Papua Nugini untuk
mengusir dubes RI dianggap berlebihan dan over acting , "ujar TB Hasanuddin
kepada INILAH . COM, Minggu (8/1/2012). TB mengatakan, apa yang dilakukan oleh
TNI AU sudah sesuai dengan prosedur yang ada. Sehingga aksi intersepsi tersebut
dilakukan. Dalam prosedur tugas patroli penerbangan-penerbangan TNI AU, sudah
sesuatu yang wajar jika setiap pesawar-pesawat yang tidak dikenal atau
ragu-ragu dikenal dilakukan pengecekan di udara. Apalagi pesawat tak dikenal
itu melintasi wilayah teritorial Indonesia. "Tak ada yang salah
dari patroli-patroli TNI AU, itu merupakan prosedur yang layak dimana pun
disemua negara berdaulat," jelasnya. Sebelumnya, 29 Desember 2011, pesawat
Perdana Menteri Papua Nugini berhasil digiring keluar wilayah udara Indonesia oleh
dua buah pesawat tempur F 16 TNI Angkatan Udara. Akibat kejadian ini, Perdana
Menteri Papua Nugini melakukan protes keras. Bahkan, ia mengancam akan mengusir
duta besar Indonesia
yang berada disana jika pemerintah tidak memberikan penjelasan atas insiden
itu. Departemen Luar Negeri Indonesia menyatakan bahwa intersepsi yang dilakukan
oleh pesawat TNI AU terhadap pesawat yang membawa Deputi Perdana Menteri Papua
Nugini, belden Namah, sesuai dengan prosedur dan tidak pernah membahayakan
pesawat dimaksud. Menurut Pemerintah Indonesia, langkah-langkah yang dilakukan
Indonesia, TNI Angkatan Udara, untuk melakukan intersepsi terhadap pesawat
dimaksud telah sesuai dengan prosedur yang berlaku di Indonesia dan di
negara-negara lain pada umumnya. Tindakan yang diambil oleh Komando Pertahanan
Udara Nasional (Kohanudnas), adalah melakukan identifikasi elektronik dengan
radar dan identifikasi visual dengan cara intersepsi sesuai prosedur standar.
Hal itu dilakukan karena ada perbedaan data antara "flight clearance"
yang dimiliki Kohanudnas dan hasil tangkapan radar bandara maupun radar
Kohanudnas. [MVI]
0 komentar:
Post a Comment