Monday, January 23, 2012

Konflik Papua Adalah masalah Politik



Akar konflik
Dari tahun 1960-an sampai hari ini, papua adalah daerah konflik yang tidak kunjung selesai, pemerintah indonesia telah mengambil alih papua melalui pepera 1969, yang di partisipasi oleh mewakili rakyat papua yang berjumlah 1800 orang dari 600.000 orang papua saat itu.
Hasil pepera inilah yang menjadi akar konflik papua selama 1 dekade terahir, pada umumnya orang papua tidak menerima hasil pepera itu dan sampai hari ini masih menjadi kotroversi dan tidak di lupakan oleh orang papua karena pepera itu tidak sesuai dengan perjanjian new york (one man one vote).
Papua pernah mendeklarasikan negara 1 desember 1961 oleh para intelek papua bersama belanda sebagai negara jajahan saat itu, harapan kemerdekaan satu bangsa berdaulat (west papua)  yang di janjikan oleh belanda ini menjadi harapan dan mimpi kemerdekaan bagi rakyat papua.
Namun sayangnya, negara west papua itu, akhirnya menjadi perundingan antara Belanda, AS, Indonesia dan PBB, Demi kekawatiran  penyebaran komunisme di asia maka amerika menekan belanda sebagai sekutu untuk menyarahkan papua ke Indonesia 1 mei 1963 ecara adminitrasi dan akhirnya pepera pun di menangkan oleh indoneia.
Semua konflik di papua jarang di akses media hampir puluhan tahun ini, karena diktator suharto telah menutupi papua dan menjadi daerah penumpas rahasia demi mempertahankan kemenagan pepera. jumlah pengorbanan orang papua oleh kekejaman negara jaman diktator soharto benar tidak terhitung.
Konflik papua menjadi perhatian LSM
Konflik papua juga menjadi sorotan dan perhatian LSM internasional seperti ETAN, AHRC, HRW, Tapol, Amnesty, UNHCR dan lainnya. tekanan komunitas internasional ini jakarta menganggap biasa-biasa saja namun tekanan ini menjadi perhatian dunia, Isu pelanggaran HAM papua menjadi isu komersial dalam hal ini LSM melaporkan bahwa para aparat TNI dan POLRI yang paling dominan penyalangunaan kekuasaan di papua. seperti laporan LSM disini
Jakarta melenceng akar konflik papua
Jakarta menutup diri atas masalah dan konflik papua, Jakarta klaim masalah papua adalah masalah kesejetrahan namun sesungguhnya adalah masalah politik papua, jika kasus politic tidak di selesaikan melalui jalur perundingan politik maka pendekataan kesejahtraan tidak akan pernah terwujud. Pembantaian orang papua yang paling dominan adalah dengan label separatis, makar, OPM dan lain-lain, lebel ini berkaitan erat dengan isu perjuangan pilitik papua, isu politik papua adalah masalah hak kemerdekaan papua (Free west papua indenpenden).
Perjuangan politik papua ini berawal dari janji belanda yang pernah deklarasikan 1 desember 1961 dengan artibut kenegaraan ( Bintang kejora, burung mabruk, lagu hai tanahku papua), baru-baru ini anggota parlement belanda (partai anti islam) telah mengejutkan pernyataan bahwa belanda mempunyai beban moral atas janji belanda terhadap rakyat papua (janji kemerdekaan).
Hillary Klinton, 
Reformasi politik untuk memberikan keinginan masyarakat Papua yang sesuai dengan hukum
Menteri luar negeri AS Hillary klinton matan ibu nenara itu telah menyampaikan keprihatian atas kasus pelanggran HAM di papua ini kutipan kata-katanya,
“kekhawatirannya atas aksi kekerasan yang terjadi di Papua dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), menyusul terjadinya beberapa insiden di Papua, ini Menanggapai pertanyaan dari seorang mahasiswa dari Kepulauan Solomon, Derek Mane, Clinton mengeluarkan pendapatnya tentang insiden di Papua. Saat itu Derek Mane menanyakan bagaimana sikap AS dalam masalah pelanggaran HAM Papua di Indonesia?
Clinton pun menjawab, “Pemerintah AS telah menyatakan kekhawatiran secara langsung mengenai kekerasan dan tuduhan pelanggaran HAM yang terjadi (di Papua). Kami tidak meyakini adanya dasar dari semua itu”. This published
“Diperlukan adanya dialog dan reformasi politik untuk memberikan keinginan masyarakat Papua yang sesuai dengan hukum. Kami akan tetap mendorong dilakukannya pendekatan seperti itu (dialog),” ucap Clinton dalam pidatonya di forum APEC, seperti dikutip dari website Kementerian Luar Negeri AS, Jumat (11/11/2011).

Kado Jakarta
Jakartapun menolak permintaan tokoh papua dialog Jakarta papua yang di gagas jaringan damai papua (JDP) pastor Neles tebay bersama LIPI Indonesia. tawaran dialog ini di jawab dengan UP4B.
saya yakin bahwa Jakarta tidak serius menanggani konflik papua di era ostus maka dalam dunia politik tidak ada harga mati, dengan akar konflik papua adalah masalah POLITIK maka dengan alasan inilah saya percaya bahwa pilihan terakhir adalah penyelesaian status paolitik papua dan Indonesia akan menyerahkan papua tanpa pertempuran.

Coret ; By Turwen


Baca Selengkapnya

Tuesday, January 17, 2012

‘Cap Makar’ Jangan Dijadikan Alasan


- Untuk Melakukan Tindakan Kekerasan Bagi Orang Papua

JAYAPURA - Pasca Kongres Rakyat Papua III yang berakhir jatuhnya korban jiwa, mendorong Lima Ketua Dewan Adat Papua buka suara, dengan mengeluarkan penyataan sikap. Intinya, mereka menyesalkan adanya tindakan kekerasan yang dilakukan aparat sehingga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Mereka juga minta jangan stigma atau ‘cap makar’ atau separatis yang dialamatkan kepada orang Papua dijadikan alasan pembenaran untuk melakukan tindakan kekerasan. Lima perwakilan masyarakat Adat Papua itu, masing masing Ketua Dewan Adat Biak, Yan Pieter Yarangga, Ones Wanande Ketua Dewan Adat Mampta, Lemak Mabel \Ketua Dewan Adat wilayah Baliem, Yulius Hisage ketua Dewan Adat Hubula Lembah Baliem dan Izak Heselo Ketua Dewan Adat Hosolimo Kurima Wamena. Menurut mereka, betapapun hasil Kongres yang selesai digelar oleh aparat dinilai bertentangan dengan hukum di Indonesia, namun Dewan Adat Papua menilai tindakan represif yang berlebihan dan tidak manusiawai yang dilakukan aparat TNI – POLRI merupakan tindakan yang tak dapat ditolerir.
Kelima Perwakilan masyarakat Adat Papua ini dalam pernyataannya kepada Wartawan menyatakan, tindakan kekerasan kepada rakyat Papua peserta kongres yang dilakukan aparat bersenjata terhadap rakyat Papua tak bersenjata menunjukkan aparat keamanan sesungguhnya masih mempertahankan pola- pola lamanya, yang militeristik dalam merespon tuntutan Politik Masyarakat Papua. Seolah olah cap makar dan separatis yang dikenakan kepada orang Papua merupakan pembenaran bagi aparat keamanan untuk melakukan tindak kekerasan. Kelima Dewan Adat Papua ini menyatakan, peristiwa pasca Kongres III Papua merupakan rangkaian dari kesekian kasus yang merenggut nyawa masyarakat adat Papua diatas Tanah leluhurnya, yang sampai pada hari ini tak pernah diusut, diungkap serta pelakunya dibawah ke pengadilan untuk diselesaikan secara adil oleh Pemerintah Republik Indonesia. Di lain pihak, masyarakat adat Papua selalu saja diseret dalam proses hukum dengan berbagai macam cara dan alasan yang faktanya adalah maraknya praktek impunitas yang masih dipertontonkan oleh negara terhadap rakyat Papua. Berdasarkan pengalaman itulah, maka segenap masyarakat adat Papua menyatakan rasa dukanya yang mendalam terhadap masyarakat adat Papua yang menjadi korban dari insiden pasca Kongres III Rakyat Papua pada 19 Oktober 2011 lalu, dimana kejadian ini satu dari lembaran kelam panjang yang terus menerus menimpa masyarakat adat Papua sejak hadirnya Pemerintah Indonesia di Tanah Papua.
Kelima Perwakilan Masyarakat Adat Papua ini kepada wartawan mengemukakan bahwa sebagai masyarakat adat mereka sangat menyesalkan dan mengutuk keras tindakan brutalitas aparat dalam insiden pasca Kongres III Rakyat Papua yang dilakukan terhadap masyarakat adat Papua. Tindakan sama dilakukan terhadap Ondofolo Forkorus Yaboisembut dimana Ondofolo Forkorus diseret, dipukul, ditendang, dijemur dan mendapat caci makian, Menurut Lima Ketua Dewan Adat Papua ini, tindakan brutalitas aparat ini sangat merendahkan martbat kemanusiaan beliau, apalgi dalam proses beliau sebagi seorang Pemimpin adat/Ondofolo dan Ketua Dewan Adat Papua.
Para Ketua Dewan adat melihat insiden pasca Kongres merupakan satu dari sekian insiden lainnya yang terkait persoalan Politik Papua yang terus terulang dan menimpa masyarakat Adat Papua, kami berkeyakinan bahwa hal seperti ini akan mungkin terus terjadi dimasa yang akan datang, apabila akar persoalan yang melatarbelakangi berbagai aksi Politik masyarakat adat Papua tidak diselesaikan secara adil dan bermartabat. Menurut kelima ketua Dewan adat, Kongres Rakyat Papua yang usai digelar semua berjalan aman karena antara para peserta kongres saling salam menyalami, setelah akan meninggalkan lapangan Kongres, semua peserta Kongres berjalan dengan tenang, dua jam kemudian aparat melakukan penyerangan dan membubarkan massa kongres yang tidak bersenjata dan tidak melakukan perlawanan, namun terus dikejar dan dianggap musuh, seharusnya aparat malu berhadapan denga masyarakat adat Papua yang tidak bersenjata dan melakukan perlawanan, justru kami menilai tindakan mengejar dan brutalitas aparat itulah yang disebut makar, ungkap mereka. Dewan Adat mempertanyakan kembali surat ijin yang dikeluarkan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan yang resmi dikirimkan kepada Pantia Kongres dengan menugaskan Dirjen Otda Kemdagri untuk membuka dan menjadi Keynode Speaker pada KRP III di Auditorium Uncen Jayapura, dengan sepihak Pula Kemendagri memerintahkan membubarkan Kongres karena dinilai makar.
“Kalau Kami melakukan makar dengan adanya Bintang Kejora yang dibawakan dalam tarian, sesungguhnya itu bukan makar, yang dapat dikatakan makar, ketika bendera Bintang Kejora dipasang dan dinaikkan pada tiang dan ditancapkan saat Kongres, namun kenyataan itu tak terbukti,” ungkap mereka. Para Ketua Dewan Adat juga menyingkung tempat pelaksanaan Kongres yang dilakukan di lapangan, dikatakan ini menunjukkan Pemerintah sudah tidak menghargai masyarakat Adat Papua dan dianggap tidak ada, “padahal kami ini datang untuk bicarakan hak hak dasar kami dalam negara ini yang terabaikan dan kami telah diusir keluar dan tidak diberi tempat layak dalam sebuah gedung sebagaimana permintaan kami untuk menempati gedung Auditorium dan GOR,”katanya. Hal ini menujukkan Pemerintah, terutama Kemendagri terus melakukan pembohongan terhadap orang Papua, padahal mereka sendiri mengeluarkan ijin resmi bahwa Kongres Rakyat Papua III boleh dilaksanakan, lantas kemudian mereka juga melarang dan merintahkan aparat melakukan penangkapan. (Ven/don/l03)
By admin on October 28, 2011 
Baca Selengkapnya

Ramses Ohee : Negara Federasi Hanya Khayalan


BIAK - Hasil Kongres Rakyat Papua III yang ‘mendeklarasikan’ negara Feredasi Papua Barat mengundang beragam pandangan. Jika sebelumnya seorang Anggota DPR Papua Tonny Infandi menilai negara Federasi Papua Barat bentukan Kongres 3 harus dipandang sebagai bentuk aspirasi rakyat Papua, namun lain halnya dengan Ketua Umum Barisan Merah Putih Papua Ramses Ohee. Ramses lebih tegas mengatakan negara Federasi Papua Barat hanyalah sebuah khayalan yang tidak akan pernah terwujud. Dikatakan hasil Kongres Rakyat Papua (KRP) III dinilai telah mengatasnamakan rakyat Papua atau menyalahgunakan kesucian adat rakyat Papua. Sebab hasil kongres yang telah mendeklarasikan terbentuknya Negara Federasi Papua Barat jelas bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan pembentukan Negara tersebut dinilai sebagai bentuk khayalan sekelompok elite yang berada di Dewan Adat Papua (DAP). “Negara Federasi Papua Barat sebagai KRP III hanya mainan sekelompok elite Dewan Adat Papua. Dan itu jelas khayalan. Serta tidak disetujui mayoritas masyarakat adat Papua dan Papua Barat,” kata Ketua Umum Barisan Merah Putih Papua, Ramses Ohee via telepon yang saat ini berada di Jakarta kepada Bintang Papua, Jumat (21/10).
Kata Ohee, Dewan Adat telah dipermainkan dan disalahgunakan oleh kepentingan politik. Pejuang Papua Indonesia ini juga menolak tegas keputusan KRP III yang mendeklarasikan Negara Federasi Papua Barat. Pendirian Negara Papua Barat adalah khayalan dari sekelompok orang saja, dan tidak bisa mewakili seluruh rakyat di tanah Papua. Katanya, pendirian suatu negara dengan Presiden, Perdana Menteri, dan struktur kabinetnya adalah jelas-jelas tindakan makar yang berlawanan dengan tujuan hukum NKRI. Menyelesaikan persoalan Papua harus dengan cara dan pola komunikasi yang sesuai dengan aturan hukum yang ada. Ia menyadari masih ada persoalan kemiskinan, ketidakadilan, dan ketertinggalan masyarakat Papua saat ini. “Kami mengajak semua komponen masyarakat di Tanah Papua mencari format pembangunan yang tepat dalam menegakkan hak-hak dasar rakyat Papua,” katanya. Ramses menghormati dan mendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menata kembali pembangunan Papua di dalam kerangka otonomi khusus. “Kami juga mengharapkan aparatur pemerintah pusat dan di daerah menjalankan otonomi khusus yang konsisten dan menyeluruh,” ujarnya. Ia menyerukan dukungan penuh bagi komitmen Presiden SBY untuk membangun Papua. “Kini, rakyat Papua menaruh harapan kepada Presiden SBY untuk mendorong perubahan yang lebih baik bagi Papua di dalam wilayah NKRI,” ucap Ramses. (pin/don/l03)
Baca Selengkapnya

Diberi Gelar ‘Pahlawan’, Peti Jenasah Dibalut BK


- Dua Anggota Petapa Dikubur di Waibron
By admin on October 21, 2011

Dua Jenasah disemayamkan dan Dibaluti Bendera BK
SENTANI– Dua dari tiga korban yang ditemukan tewas di perbukitan belakang Korem 172/PWY pasca pembubaran peserta Kongres III oleh aparat TNI dan Polri, dikuburkan di Waibron, kampoung halaman mereka, Jumat (21/10) kemarin. Keduanya masing-masing-masing-masing, atas nama Yakobus Samonsabra dan Max Asayeuw warga asli Waibron, Distrik Sentani Barat.
Pemakaman korban dilakukan Jumat (21/10), kemarin sore sekitar pukul 03.00 WIT. Isak tangis histeris keluarga korban mewarnai pengantaran jenasah yang akan diserahkan ke para-para adat untuk disemayamkan di Waibron. Sejumlah pelayat yang diantaranya kerabat, masyarakat dan sejumlah pasukan Penjaga Tanah Papua (petapa) juga turut serta mengantarakan ke tempat peristirahatan terakhirnya. Menariknya, dua korban ini mendapat penghargaan sebagai pahlawan penjaga perdamaian Tanah Papua dan dibaluti Bendera Bintang Kejora di atas dua peti jenasah ini. Proses pemakaman dari keluarga menyerahkan ke pasukan perdamaian tanah papua kemudian diserahkan secara resmi ke para-para adat, karena pasukan penjaga tanah Papua menjaga aset-aset daripara adat untuk mengawal hak-hak dasar yang dimana secara terbukti mereka telah gugur melaksanakan tugas untuk mengamankan jalannya kongres rakyat Papua III. Kepala keamanan petapa wilayah Mamta Elias Ayakeding menuturkan saat di temui Bintang Papua di para-para adat penyerahan korban kemarin sore menuturkan “Saya sangat sayangkan tindakan aparat kepada pasukan Petapa, mereka ini adalah pasukan perdamaian tanah papua ko bisa di dinuh,”ujar Elias heran. Tambahnya,sedangkan pasukan perdamaian ini mereka tidak bawa apa-apa satu pucuk senjatapun mereka tdak punya, bahkan peluru pun tidak ada,tapi kenapa mereka menjadi korban pengamanan KRP III ini.”tegasnya. Saat bintang Papua memasuki wilayah Waibron, Jumat sore (21/10) suasana mulai dari jalan Kartosari hingga Waibron Sentani Barat tampak sunyi sepi dan tidak ada terlintas mobil anggkutan umum, kendaran pribadi dan motor bahkan tidak nampak masyarakat yang ada di pingir jalan Banyak isu-isu yang masyarakat dengarkan terkait kematian korban kongres rakyat papua III (KRP),yang diantaranya penyerangan susulan dan pembakaran pasar baru dan pasar lama yang mengakibatkan seluruh masyarakat yang berada di Sentani tengah dan Sentani Barat was-was. Sempat aparat kepolisian datang ketempat pemakaman yang di pimpin langsung oleh Kapolres Jayapura AKPB. Mathius Fakhiri. SIK dan dua truk anggota polres sejumlah 30 orang. Mereka hanya mengucapkan belasungkawa sedalam-dalam atas meninggalnya dua korban. Seteah utu kembali, karena rupanya kehadiran aparat di sana tidak diinginkan oleh masyarakat dan keluarga korban. Menurut ahcmad warga Hawai Sentani yang saat di wawancarai oleh bintang Papua “saya saat ini merasa cemas karena banyak isu yang berkembang di telinga masyarakat, di antaranya akan diadakan pembakaran pasar. saya juga merasa cemas terhadap keluarga saya,karena anak dan cucu saya sering berpergian diluar rumah makanya saya suruh pulang cepat biar tidak terjadi apa-apa diluar sana,harapan kami masyarat Papua itu harus lebih aman dan tentram behubungan masyarakat-masyarakat papua terkenal masyarakat yang penuh dengan rasa cinta damai dan kasi sayang,”katanya. (fer/don/L03)
Baca Selengkapnya

* Pemerintahan Transisi Republik Federal Papua Barat

Penuturan Korban dan Saksi KRP III
- Ingin Melindungi, Malah Batang Hidung Dihantam

Kongres Rakyat Papua III yang sudah digelar 19 Oktober 2011, meninggalkan luka dan trauma mendalam di bathin para korban dan mereka yang dikorbankan akibat tindakan arogansi monopoli kebenaran tunggal, serta mengabaikan dan mengorbankan nyawa, harkat dan martabat kemanusiaan.

Veni Mahuze - Bintang Papua Salah seorang massa kongres saat diamankan aparat
Cristianus Dogopia ( 22) mahasiswa semester V STFT Fajar Timur, anggota kongregasi Imam Imam Projo Jayapura harus dirawat di rumah sakit Dian Harapan karena tulang tangan kanannya retak. Saat ditemui Jumat( 28/10) siang di rumah Projo. Cris dalam keadaan terbalut tangan kanannya, dengan mata lebam, saat dirawat di rumah sakit, wajahnya bengkak merata sehingga terkesan tak ada perbedaan antara hidung dan pipi. Cris bercerita, saat kongres selesai dia berada di halaman rumah Sang Surya, dari jauh dia mengamati aparat melakukan penembakan, Dalam benaknya berpikir, kira kira kemana arah dan tujuan dari tembakan itu, rupanya tembakan aparat itu diarahkan ke atas, merata kepada semua peserta kongres. Pada pukul 15.30 atau jam 04.00 sore aparat lakukan penembakan itu serentak terdengar dari arah belakang Kampus, berikut dari Jalan Yakonde dan sepanjang jalan Sosiri padang bulan. “ Karena arah tembakan aparat merata , peserta kongres diantaranya ada laki laki, perempuan dan warga yang hanya ingin melihat kongres. Ketika peserta berlari mencari tempat perlindungan yakni rumah- rumah dosen yang berada di luar lapangan kongres, saya tetap berdiri dan tidak terpengaruh dengan tembakan tembakan yang diaragkan aparat, namun saya kasihan dengan orang orang yang mencari perlindungan, hingga saya mengarahkan mereka dan menunjukkan satu rumah yang pintunya terbuka agar mereka masuk kesana, termasuk kandang ayam milik salah seorang dosen, saya arahkan ke kandang ayam sebagi tempat perlindungan dan saya berteriak dari jauh, tutup pintu dari dalam,” kenangnya. “ Ketika saya berusaha melindungi seorang pria peserta kongres yang kedapatan ditangkap, dipukul hingga berdarah darah dan pingsan, saya bermaksud melindunginya agar tidak mendapatkan perlakuan yang lebih kasar lagi dari aparat, namun ketika akan melakukan itu, saya dipukul dibatang hidung , dan sempat menangkis pukulan aparat hingga mengenai tangan, setelahnya saya dibawah masuk ke dalam lapangan yang dipakai sebelumnya untuk kongres, disana ada kelompok besar orang yang ditangkap sambil berbaris, di suruh jongkok dan saya masuk dalam kelompok itu, dibawah ke Polda dalam keadaan berdarah darah bersama peserta kongres lainnya yang kondisinya sama dengan saya berkesimpah darah disekujur tubuh”.katanya.
Dia dipulangkan pada 20 oktober dan masuk rumah Sakit Dian Harapan untuk menjalani perawatan. Dari pemeriksaan yang dilakukan di RS. Dian Harapan, keterangan dokter menyatakan, tangan yang digunakannya melindungi peserta kongres yang pingsan itu retak hingga perlu perawatan. Dia juga bercerita saat diangkut ke Polda, mereka ditempatkan di lapangan tenis dan dikelompok kelompokan masing masing mahasiswa/ pelajar, perempua , laki laki, peserta kongres dan Petapa. Mahasiswa STFT yang ditangkap dan sempat ditahan di Polda usai digelarnya KRP III berjumlah 5 orang , mereka berada pada posisi didatangi massa yang mau menyelamatkan diri, mau tidak mau demi kemanusiaan mereka harus melakukan perlindungan kepada massa yang mendatangi mereka, mereka tak luput dari tindak kekerasan aparat, bahkan seorang pastor Yan You ditodong dengan pistol sebanyak tiga kali oleh aparat yang berbeda diselang waktu yang berbeda pula. Ditempat yang sama, Daud Wilin( 22) mahasiswa STFT dan Frater Imam Projo yang serumah dengan Cris Dogopia mengalami hal yang sama seperti rekannya Cris, dia ditendang dan dipukul dengan senjata tepat dipunggung dan tulang belakang, hingga gumpalan darah kotor mengumpal di pinggangnya, bahkan dia menuturkan, masih banyak mahasiswa STFT yang dikejar dan merasa rakut dan trauma melarikan diri ke hutan . Sampai keduanya ditemui di rumah projo Padang Bulan, nampak rasa trauma dan ketakutan terlihat diraut wajah dua frater Projo ini, keduanya mengaku, tidak tenang selalu awas dalam berbagai situasi, apalagi mendengar bunyi tembakan atau bunyi gaduh, hati bathin mereka masih terbawa dan terbayang peristiwa dimana keduanya mendapat perlakukan tidak manusiawi dari Aparat.*/don/l03)
By admin on October 28, 2011 
Baca Selengkapnya

Menteri Luar Negeri Belanda, Dr. Uri Roshental

PAPUAN, Belanda --- Situasi di Papua saat ini belum kritis. Pasukan PBB akan diturunkan ke Papua jika situasi di sana sangat mendesak seperti apa yang sementara ini terjadi di Mesir, Yaman, Suria, dan tempat lainnya, di mana rakyat sipil menuntut haknya dengan demontrasi dan ditanggapi dengan pendekatan kekerasan militer oleh pemerintah yang berkuasa. Demikian penegasan Menteri Luar Negeri Belanda, Dr. Uri Rosenthal, pada Kamis (22/12), pukul 16.30 – 18.00 waktu Belanda, di Gedung Parlemen Belanda, Kota Den Haag, menjawab tuntutan Parlemen Belanda Bidang Komisi Luar Negeri agar pasukan pengamanan PBB bisa segera diturunkan ke Papua mengamankan Menurut Rosenthal, tentang pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, diminta agar harus ada bukti yang cukup kuat dan jangan simpang siur. “Seperti info yang telah diterima bahwa korban di Eduda (Paniai) adalah 30 orang, kemudian dari sumber yang lain disampaikan bahwa 13 orang, kemudian dari info yang lain lagi disampaikan bahwa hanya 3 orang. Diminta agar laporan benar disertai bukti yang kuat, agar mudah untuk ditindaklanjuti,” katanya. Terhadap tuntutan Komisi Luar Negeri agar pemerintah menindaklanjuti keterlibatan pihak asing (Australia) dalam peristiwa Eduda, Rosenthal menyampaikan bahwa, perusahaan itu adalah milik Australia dan Belanda sama sekali tidak mencampuri urusan tersebut. “Namun pemerintah Belanda tetap akan mengecek hal itu secara langsung ke pemerintah Australia dalam kunjungan kerja tahun depan nanti,” katanya.

Rosenthal melanjutkan, tentang kerja sama dibidang militer, Pemerintah Belanda membantu Indonesia bukan dengan motif untuk membasmi orang pribumi Papua.
Namun, katanya ini akan menjadi catatan khusus bagi pemerintah kedepannya.
Terkait tuntutan agar pemerintah Belanda hentikan kerja sama bidang militer dengan Indonesia, menurut Rosenthal hal tersebut menjadi perhatian yang serius bagi pemerintah Belanda.

Sementara dalam solusi menyelesaikan permasalah di tanah Papua, pemerintah Belanda mendukung langkah membangun dialog dengan pemerintah Indonesia yang sedang dikerjakan Gereja-Gereja di tanah Papua. “Dalam hal ini dialog antar pemerintah Indonesia dan Gereja-Gereja Se-Papua akan dilaksanakan, diharapkan pada bulan januari 2012 segera akan diadakan pertemuan dengan presiden Indonesia untuk membicarakan masalah Papua,” sebutnya.
“Pemerintah Belanda mengharapkan agar dalam dialog nanti akan hadir juga organisasi-organisasi sosial politik, NGO, dan lembaga-lembaga Hak Azasi Manusia (Komnas HAM, dll). Hasil penelitian dari LIPI akan sangat membantu dalam hal ini,” harapnya.

Lanjut Rosenthal, Pemerintah Belanda akan berdialog dengan Indonesia tentang masalah Papua dengan menghargai aturan-aturan internasional yang berlaku. Pemerintah tidak akan melangkahi kedaulatan RI melainkan akan berusaha melalui hubungan diplomatiknya untuk mencari solusi tentang penanganan masalah Papua. Sedangkan terkait kegagalan Otsus, pemerintah Belanda mengatakan Jakarta sendiri saat ini mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah Papua.
“Otsus di terapkan di Papua oleh Jakarta untuk menjawab tuntutan rakyat Papua, namun yang dikehendaki OPM bukanlah Otsus, melainkan kemerdekaan penuh terlepas dari Indonesia. Ini yang menyebabkan terjadinya konflik di Papua,” ucapnya. "Sekali lagi ditegaskan oleh pemerintah bahwa yang dikehendaki OPM adalah kemerdekaan Papua. Mungkin UP4B juga akan mengalami nasib yang sama dengan Otsus karena keinginan OPM adalah Papua Merdeka,” kata Rosenthal. Terkait pendekatan yang digunakan Militer Indonesia, Rosenthal mengatakan semua hanya karena ulah OPM yang dicap sebagai teroris. “Sesuai laporan Indonesia, OPM adalah teroris,” tutur Rosenthal lagi. Namun, Menlu mengaku sekalipun situasi di Papua belum mencapai tahap kritis, namun kondisi saat ini merupakan hal yang serius dan patut mendapatkan perhatian.
Baca Selengkapnya

Faleomavega : Tindakan Aparat Keamanan Bertentangan Dengan Komitmen SBY


JUBI --- Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan gabungan saat penangkapan peserta Kongres Rakyat Papua III, dianggap bertentangan dengan komitmen pemerintah SBY untuk memecahkan masalah di Papua Barat dengan "cara damai, adil, dan bermartabat." Melalui surat yang dikirimkan ke redaksi tabloidjubi.com (Sabtu, 22/10), anggota Kongres AS, Eni Faleomavaega hari ini mengumumkan bahwa ia telah mengirim surat kepada Duta Besar Indonesia untuk AS, Dr Dino Patti Djalal untuk menyampaikan kekhawatiran tentang keamanan dan perawatan Forkorus Yaboisembut dan beberapa orang lainnya yang ditangkap pada pertemuan baru-baru ini, paska Kongres Rakyat Papua di Papua. Faleomavega menyampaikan jika media internasional telah melaporkan jika aparat keamanan gabungan telah menangkap dan memukuli ratusan warga sipil yang menghadiri pertemuan itu. Dalam surat yang ditembuskan juga kepada Duta Besar AS untuk Indonesia Scot Marciel tersebut, Faleomavega menyebutkan bahwa insiden penangkapan terhadap peserta Kongres Rakyat Papua kemarin adalah pelanggaran serius dan kejahatan terhadap kemanusiaan, terutama mengingat bahwa Pemerintah Indonesia adalah penandatangan kedua perjanjian PBB tentang Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Faleomavega juga menyebutkan jika Imam Setiawan, Kepala Kepolisian Resort Kota Jayapura, mungkin telah memainkan peran penting dalam insiden penangkapan dan penembakan tanggal 19 Oktober kemarin yang menyebabkan kematian beberapa warga dan pembunuhan warga Papua lainnya dalam beberapa tahun terakhir. Faleomavega berpandangan bahwa insiden ini merupakan tindakan TNI dan polisi yang bertentangan dengan komitmen yang dibuat oleh Presiden Yudhoyono untuk memecahkan masalah di Papua Barat dengan "cara damai, adil, dan bermartabat." (Victor M)
By admin on October 22, 2011

Baca Selengkapnya

 A.S. Prihatin atas Sikap Indonesia terhadap West Papua


Keprihatinan mendalam disampaikan Amerika Serikat tentang perlakuan atas orang West Papua dalam kekuasaan Indonesia. Untuk pertama kalinya Kongress A.S. membuka sesi khusus mendengarkan isu-isu yang berpengaruh terhadap provinsi orang Melansia itu.
Para anggota perwakilan diberitahu tentang pelanggaran HAM yang sedang berlangsung dan tuduhan bahwa Indonesia gagal memberikan Otsus kepada West Papua yang telah ia janjikan 9 tahun lalu. Yang memimpin penyampaikan ini ialah Anggota Kongress dari Samoa Amerika, Eni Faleomavaega, yang juga adalah Ketua Sub Komisi Parlemen Urusan Asia-Pasifik dan Lingkungan Global. Presenter: Helene Hofman Pembicara: Eni Faleomavaega, American Samoa's Congressman FALEOMAVAEGA: Setahu saya ini pertama kali Kongres A.S. menyelenggarakan sesi khusus untuk keseluruhan pertanyaan tentang West Papua, menyangkut segala hal, sejarahnya dan situasi sekarang, khususnya era penjajahan Belanda dan bagaimana diambil alih secara militer di bawah pemerintahan Sukarno dan Suharto. HOFMAN: Jadi, A.S. punya dua keprihatinan utama, sebagaimana saya pahami, satunya mendesak untuk kemerdekaan dan lainnya pelanggaran HAM? FALEOMAVAEGA: Tidak, isu kemerdekaan selalu menjadi bagian dari pemikiran sejumlah orang West Papua. Saya mengikuti isu ini sudah sepuluh tahun sekarang dan merasa bahwa mengigat tahun-tahun kami bekerjasama dengan Jakarta, khususnya saat Jakarta mengumumkan akan memberikan UU Otsus kepada orang West Papua sejak 2001 dan harapan bahwa orang West Papua akan diberikan otonomi yang lebih. Well, sembilan tahun kemudian, tidak ada kemajuan atau gerakan yang terjadi untuk memberikan otonomi yang lebih banyak itu kepada orang West Papua dan dalam hal ini kami sudah ikuti dalam beberapa tahun belakangan dan kami harap Jakarta cepat tanggap terhadap pertanyaan dan keprihatinan kami. HOFMAN: Saya mengerti ada isu pelanggaran HAM juga. Saya tahu Anda juga sedang mengklasifikasikan apa yang terjadi di West Papua itu sebagai sebuah perbuatan "genosida" (ed-tindakan yang dimaksudkan untuk dan berakibat penghapusan etnik), yang mana tidak mendapatkan oposisi di Amerika Serikat? FALEOMAVAEGA: Well, ini isu yang terus berlanjut. Sebelum Timor Leste diberikan kemerdekaan 200.000 orang disiksa dan dibantai. Militer Indonesia lakukan hal yang sama di West Papua, angka konservativ 1000.000 orang, yang dilakukan oleh militer Indonesia. Yang lain mengatakan 200.000 orang orang West Papua dibunuh dan disiksa, dibunuh tanpa belas kasihan oleh militer. Jadi, ya ada persoalan genosida di sana. Saya sangat, sangat prihatin bahwa isu ini terus berlanjut dan kami mau memastikan bahwa orang-orang di sana diperlakukan adil. HOFMAN: Apa yang dapat dilakukan A.S. tentang ini? Sekarang ada penyampaian khusus tentang West Papua? Apa harapan Anda yang akan jadi sebagai hasil dari ini? FALEOMAVAEGA: Well, sistem pemerintahan kami agar berbeda dari sistem parlementer dan dalam sistem kami cabang yang setara dengan pemerintahan dan kami bekerjasama. Kami semua tahu bahwa Indonesia itu negara Muslim terbesar di dunia. Baru-baru ini mulai muncul untuk menjadi demokratis dan kita semua mendukung itu. Tetapi pad waktu bersama ada legacy tentang apa yang ia telah lakukan kepada orang West Papua, pertama dalam kolonialisme Belanda, kini penjajah lain menjajah orang-orang ini yang tidak punya hubungan budaya, etnik, hubungan sejarah sama sekali dengan orang-orang Indonesia, atau bisa dikatakan orang-orang Jawa ini yang tinggal di tanah air Indonesia. Ini orang-orang Melanesia dan secara budaya ada keprihatinan yang sangat, amat bahwa orang-orang ini semakin lama semakin menjadi minoritas di tanah mereka sendiri dan di dunia mereka sendiri, dan memang ada keprihatinan mendalam tentang apa yang Jakarta lakukan terhadap isu ini. HOFMAN: Jadi apa pesisnya yang dapat dilakukan A.S.? Kenapa orang Indonesia harus dengarkan A.S.? FALEOMAVAEGA: Indonesia tidak harus dengarkan A.S. Tetapi saya yakin negara-negara lain di dunia akan lihat, Hey, kami bisa katakan hal yang sama dengan apartheid, isu Afrika Selatan, apa yang terjadi dengan mereka. Kalau dunia tidak menekan Afrika Selatan untuk merubah apa yang dilakukannya, mereka tidak buat apa-apa, tidak akan terjadi apa-apa terhadap kebijakan apartheid di sana, dan saya pikir cara yang sama kita berikan perhatian ke Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengikuti jalan-jalan yang telah dilalui orang Timor Leste. HOFMAN: Jadi, apa langkah berikutnya setelah sesi ini? FALEOMAVAEGA: Well, penyampaian terbuka ini bagian dari proses itu. Ini cara operasi sistem pemerintahan kami. Kami lakukan dengar pendapat, dan Pemilu November mendatang mungkin akan terjadi perubahan dan kami menjembatani saat kami melewati proses itu, dan bila saya terpilih kembali saya jani kepada Anda bahwa saya akan angkat isu itu terus, tidak hanya dengan Jakarta, tetapi juga di Kongres dan juga dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami perlu menaruh perhatian lebih kepada masalah-masalah yang dihadapi orang West Papua sekarang.

- Berita ABC - Australia, Updated September 27, 2010 17:33:15 (Terjemahan PMNews)
By admin on September 27, 2010
← Older Posts | Newer Posts →

Baca Selengkapnya

* Politik “Dukungan Luar Negeri” dan Perjuangan Papua Merdeka


- Presiden SBY Bertemu Menhan AS Di Bali
Hari ini Presiden Neo-Kolonial Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan Menteri Pertahanan Amerika Serikat. Pokok pembicaraan mereka sebagaimana dilansir berbagai media di Indonesia menyebutkan terkait pembelian pesawat tempur dan secara khusus membahas masalah gejolak atau separatisme di Tanah Papua. Permasalahannya pemberitaan Indonesia tidak secara rinci menjelaskan "pokok-pokok apa saja yang disinggung dan bagaimana dinamika pembahasan mereka berdua." Walaupun begitu, sudah dapat dipastikan bahwa Indonesia hendak bermuka domba dihadapan negara-negara barat, dengan menyatakan, "Otsus adalah solusi terbaik, kami bukan regime orde baru yang militeristik dan sentralistik. Kami telah berikan Otsus, dan kini kami sedang, sekali lagi sedang berupaya menerapkan UU Otsus. Walaupun begitu masih saja ada orang Papua yang menolak, jadi kami sedang menyelesaikannya. Kami pasti akan menyelesaikannya secara tuntas. Kami optimis bahwa ada pihak-pihak yang dapat diajak berkomunikasi dan menerima tawaran pemerintah pusat untuk menyelesaikan masalah ini. Memang ada sedikit gejolak di sana sini dari waktu ke waktu, tetapi aparat kepolisian yang yang di daerah sudah dilatih dengan pengetahuan HAM dan demokrasi dan tugas mereka memberi jaminan keamanan dan ketertiban. Jadi memang di sana-sini ada tindakan yang menyinggung hak asasi, tetapi selalu kami berusaha dan pasti akan menghilangkan tindakan yang dicap sebagai pelanggaran HAM oleh sekelompok organisasi Non-Pemerintah dan orang Papua sendiri." Lalu tanggapan pejabat Amerika Serikat kemungkinan seperti berikut, "Ya, pemerintah AS punya komitmen untuk memajukan demokrasi dan perlindungan HAM secara bermartabat di Indonesia. Kami menghargai berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah Indonesia, khususnya terkait dengan penangangan isu dan kelompok masyarakat Indonesia. Kami tetap mendukung keutuhan NKRI, seperti sediakala. Kami juga akan menyediakan bantuan strategis maupun teknis dalam rangka memajukan dan melindungi HAM serta mendukung proses demokratisasi. Memang kami sadar dan terus memonitor kondisi terakhir khususnya di Tanah Papua, terutama terkait demo karyawan Freeport yang sampai saat ini belum tuntas. Kami harap pemerintah Indonesia bisa membantu dalam hal ini. ... Dan seterusnya." Akhir dari pembicaraan itu, ditarik kesimpulaan bahwa, pertama, Amerika Serikat TIDAK mendukung gerakan separatisme di Tanah Papua, Amerikat Serikat mendukung keutuhan NKRI; kedua Amerika Serikat bersedia menjual pesawat tempurnya ke TNI/ Indonesia dalam waktu dekat, yang berarti hubungan militer yang sempat terputus dan terpuruk sudah pulih kembali. Kedua kesimpulan ini TIDAK menyebutkan "Apa yang dilakukan Indonesia untuk Amerika Serikat atau apa yang dikatakan Indonesia untuk Amerika Serikat." Apa artinya? Artinya Indonesia tidak punya nilai tawar di hadapan negara adidaya Amerika Serikat, yang ada hanyalah, "Apa maumu yan Tuan, Hambamu insya Allah siap!" Tetapi itu mungkin terlalu jauh.
Seorang pejabat negara tidak terbiasa membahas hal-hal terperinci seprti itu, yang sering terjadi ialah pembicaraan sekedar basa-basi, "Apa kabar? Terimakasih atas waktu untuk bertemu. Kami sangat berterimakasih atas kesempatan ini, dan terimakasih atas semua yang dilakukan pemerintah dan negara Anda dalam hubungan saling menguntungkan ini.
Menurut Tempo Interaktif.com, Dalam pertemuan tersebut, keduanya membahas beberapa hal termasuk diantaranya Purnomo sempat memaparkan kondisi di Papua dalam pertemuan bilateral tertutup itu. "Agar beliau mendapat informasi langsung dari pihak pertama," kata Purnomo usai pertemuan itu.
Sementara menurut Detik.com, Menurutnya, konteks pembicaraan isu Papua dalam pertemuan adalah kerjasama bidang pertahanan. Presiden SBY menjelaskan, faktor yang lebih ditonjolkan pemerintah adalah peningkatan kesejahteraan. "Ada kebijakan khusus untuk Papua yang menekankan kesejahteraan, bukan pendekatan keamanan," jelas Faiz. Yang patut dipertanyakan oleh orang Papua khususnya ialah,
"Mengapa masalah Papua justru dan selalu dibahas dan dikomunikasikan dengan pihak negara asing?" atau dengan kata lain, "Mengapa isu-isu dari provinsi dan pulau lain di dalam NKRI tidak pernah disinggung ketika bertemu dengan pemerintah atau negara lain, kecuali hanya menyoal Papua?" Itu artinya ada sesuatu yang dianggap perlu disinggung.
Yang lebih penting lagi untuk diingat oleh orang Papua ialah sebuah fakta sejarah bahwa Tanah Papua ialah korban kong-kalingkong Amerika Serikat dengan NKRI. Tanah dan bangsa Papua dikorbankan demi kepentingan kedua belah pihak. Terutama sekali Amerika Serikat berkepentingan mengeruk sumberdaya alam yang ada di Bumi Cenderawasih. Sementara NKRI berkepentingan mengembangkan politik Pan Indonesia Raya mencakup wilayah suku-bangsa Melanesia dan Melayu (Malaysia, Singaore, Brunai Darussalam, Papua New Guinea, Vanuatu, sampai ke Fiji). Proyek Pan Indonesia mentok sampai batas-batas seperti yang ada sekarang. Sebagian pulau Borneo dan Singapore sudah merdeka sendiri, di bagian timur hanya sampai di New Guinea bagian Barat. NKRI harus pasrah kepada fakta sejarah. Sekarang NKRI menganggap dirinya sudah harga mati. Paupa Merdeka merupakan sebuah kecelakaan yang akan menghancurkan bingkai buatan mereka bernama "N-K-R-I". Tetapi orang Papua perlu menjawab sekarang, "Apakah Anda sanggup membuat dan memajang bingkai sendiri di luar bingkai NKRI, ataukah yang sanggup Anda buat hanya sebatas mengecat dan memposisikan bingkai NKRI itu agar lebih berwarna sesuai selera Anda?" Semuanya berpulang kepada Anda. Semuanya tidak tergantung kepada NKRI atau Amerika Serikat. Karena pembukaan UUD 1945 mengatakan, "Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan..." Memang Indonesia harus dipaksa tunduk kepada kata-kata dan kalimat awal dari UUD-nya sendiri, sebelum memaksa bangsa lain tunduk kepadanya. Begitu bukan?
http://papuapost.com/?campaign_review=politik-dukungan-luar-negeri-dan-perjuangan-papua-merdeka [802] words.Posted in: Editorial & Column [39] ‡ Last modified @ October 24th, 2011. [ Views0 ]
Baca Selengkapnya

Perspektif Internasional


 Media Papua Pasca KTT ILWP
- Ditulis oleh Lamadi de Lamato
 Konferensi Tingkat Tinggi (KTT-I) International Lawyers for West Papua (ILWP) yang digelar 2 Agustus 2011 lalu di Oxford, London, Inggris, memang suaranya telah hilang. KTT yang mendorong referendum Papua itu, sempat membuat suasana politik di Papua memanas. Memanas, karena sempat memantik demo besar-besaran, yang menebar ancaman disintegrasi, lepasnya Papua dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dari demo tersebut, teramat menarik kita mengamati pemberitaan media yang ada. Tanpa mengenyampingkan media yang lain, pemberitaan setidaknya 2 (dua) media yang mengklaim slogan yang pertama di Papua; adalah Cenderawasih Pos dan Bintang Papua). Cenderawasih Pos menyebut diri koran terbesar dan pertama di Papua. Sementara Bintang Papua adalah koran digital pertama di Papua.
Dari usiapun, kedua koran ini terpaut sangat jauh. Cenderawasih Pos lebih tua dan matang secara manajemen. Berbeda dengan Bintabg Papua, ia koran yang relatif lebih muda lahir. Dari dua koran ini, kita bisa memotret, mana koran yang memberi ruang lebih luas pada publik, dan mana koran yang hanya diperuntukan hanya memoles citra program dan kebijakan para elit semata? Bukan itu saja, kitapun dapat menilai, mana yang pro pada ideologi tertentu, dan mana yang memberitakan fakta dan realitas otentik Papua? Dari pertanyaan di atas, yang paling menarik adalah peran dua media di atas terkait dengan pemberitaannya tentang ILWP yang berlangsung di London. Pertanyaannya, mengapa kita harus menganalisa peran media (khususnya Cenderawasih Pos dan Bintang Papua) di Papua? Sebelum menjawab beberapa pertanyaan kritis di atas, kita tentu tahu peran media yakni sebagai penyokong demokratisasi dimanapun. Media adalah pilar keempat dari berlangsungnya demokrasi disuatu negara. Sekedar menyebut 3 (tiga) yang lain sebagai penyokong demokrasi; (1). Legislatif (DPR), (2) Eksekutif (Pemerintah) dan (3). Yudikatif (Penegak hukum; Polisi, Jaksa, MA). Pilar-pilar itu, saling kait mengkait dalam menciptakan konsolidasi demokrasi, yang sampai saat ini telah berusia 11 tahun. Bangsa Indonesia baru benar-benar mulai berdemokrasi secara terbuka setelah tumbangnya almarhum Presiden Soeharto pada tahun 1998. Demokrasi Indonesia sesungguhnya nasib baiknya terletak pada kontrol media. Disebut berada dipundak media karena 3 (tiga) penyanggah di atas (eksekutif, legislatif dan yudikatif) sampai saat ini harus diakui, mereka banyak yang tersandera dalam berbagai kasus. Banyak hakim yang gampang disuap, banyak anggota dewan, bupati, gubernur dan menteri yang kena kasus korupsi, suap dan lain-lain. Karena itu, harapan demokrasi bertumbuh pada kontrol media, yang sampai saat ini, kontribusinya masih tetap dianggap sangat baik.
Merujuk pada tugas mulia media tersebut, maka alangkah naifnya bila masih ada media dalam pemberitaannya yang pro pada kekuasaan yang korup, semena-mena dan mengabaikan jurnalisme yang objektif. Sekedar menyebut contoh tentang pemberitaan Cenderawasih Pos pada tanggal 8 Agustus, 6 hari setelah demo mendukung ILWP di berbagai daerah diseluruh Papua. Dalam Head Linenya; “Waspadai Misi Intelijen Luar Negeri di Papua”.
Cenderawasih Pos mengutip pernyataan pusat, anggota DPR-RI, Mahfud Siddiq; “ Naiknya suhu politik dan kerusuhan di Papua harus segera disikapi serius oleh pemerintah”. “Jika terlambat, eskalasi kerusuhan itu bisa dimanfaatkan pihak asing untuk melepaskan Papua dari NKRI”. “Ujung-ujungnya nanti ada desakan agar Papua dibuat seperti Timor-Leste” tandasnya. Sepintas Head Line tersebut tidak punya pengaruh. Namun beberapa rentetan kejadian yang menebar terror ketakutan seperti (1). Penembakan di daerah Abepantai oleh orang tidak dikenal (OTK) pada tanggal 11 Desember 2011. Penembakan ini merupakan kali ke-2 di daerah yang berbatasan dengan Kampung Nafri. Penembakan pertama terjadi pada tanggal 1 Desember 2011.
(2). Kejadian penikaman yang terjadi di Buper (Bumi Perkemahan) Waena, yang konon menewaskan beberapa korban. Dan beberapa kejadian lain yang bernuansa SARA (Suku, Agama dan Ras). Kejadian-kejadian tersebut, tanpa kita sadari, dengan cepat kini menjadi teror ditengah-tengah masyarakat. Seolah-olah Papua telah berada dalam suasana mencekam. Dimana-mana terjadi desas-desus dan rumor yang dikait-kaitkan dengan politik dan sentimen lain (agama, suku, ras).
Dalam posisi seperti itu, media perlu sangat hati-hati dalam menurunkan berita terkait dengan situasi politik tertentu. Apa yang diberitakan Cenderawasih Pos di atas dengan mudah dapat diinterpretasi, Cenderawasih Pos telah berpihak pada kelompok tertentu. Sekali lagi, Head Line “Waspadai Misi Intelijen Luar Negeri” seolah-olah mendorong pihak dominan untuk segera melakukan upaya kontra intelijen dalam menjaga keamanan Papua pasca ILWP yang mulai tidak kondusif. Dalam tulisan “Gerakan Kontra Intelijen NKRI”, penulis melihat bahwa negara dapat melakukan apapun dalam menjaga integrasi NKRI di tanah Papua. “Negara tidak pernah tidur, dan apapun dapat dilakukannya dalam rangka menjaga Papua dari disintegrasi bangsa” Melihat kencangnya gerakan tuntutan referendum yang terjadi pada tanggal 2 Agustus 2011, maka tidak tertutup kemungkinan beberapa rentetatan peristiwa itu adalah bagian dari upaya kontra intelijen. Bila asumsi ini benar, maka ini serupa dengan apa yang pernah disebut Michael Foucault dalam studi intelektualnya yang bernama hegemoni wacana (Buku Wacana Kritis; Eriyanto, LKiS, 2005). Salah satu kerja hegemoni adalah mempengaruhi opini publik melaui pemberitaan dan teks yang dibangun oleh penguasa modal. Dalam pemberitaan Cepos di atas, memang tidak disebutkan secara bulat-bulat bahwa mereka pro NKRI tapi sangat tampak tendensi opini yang dibangunnya. Publik seolah-olah ingin dikondisikan untuk percaya pada peran intelijen asing serta segera dilakukan upaya kontra intelijen dalam membendungnya. Anehnya pasca pemberitaan tersebut, yang terjadi justru berbagai kejadian yang dengan cepat menebar teror yang dikait-kaitkan dengan sentimen politik tertentu. Bukan bermaksud menyalahkan media (Cenderawasih Pos) tapi objektiflah dalam membuat berita ditengah situasi Papua yang penuh masalah. Dalam banyak hal, kita melihat media di Papua sudah seperti malaikat, yang tanpa dosa. Cek seluruh alamat kesalahan kegagalan Otsus tidak satupun dibebankan pada media. Selama ini, kegagalan Otsus selalu yang disalahkan adalah pemerintah daerah dan pusat. Padahal secara jujur, media juga punya andil dalam berbagai dosa-dosa demokrasi yang ada di tanah Papua. Masih sekedar menyebut contoh, tepat dalam bulan puasa tahun 2010, setahun yang silam, pernah ada berita yang memuat pernyataan pemerintah pusat terkait dengan evaluasi Otsus. Disebutkan, bahwa; “Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Berjanji Akan Mengevaluasi Otsus Papua Pasca Ramadhan 2010”. Evaluasi Otsus itu ternyata hanya janji-janji omdo (omong doang). Sekarang ini sudah tahun 2011 dan tepat bulan ramadhan yang kesatu tahun tapi evaluasi itu tidak kunjung tiba. Padahal Papua sangat membutuhkan evaluasi menyeluruh tersebut. Bila kita mau mencari-cari kesalahan, maka medialah yang patut disalahkan sehingga janji-janji itu cuma omdo saja.
Seharusnya media Papua pro aktif menanyakan kapan evaluasi Otsus itu dilaksanakan. Tidak pro aktifnya pers di Papua dalam mengejar janji-janji tersebut, sangat pantas kita menyalahkan media yang lemah dalam melakukan fungsi kontrolnya di tanah Papua. Ditengah lemahnya tiga fungsi institusi di atas, sebenarnya pers Papua harus tampil memberi pencerahan dengan menjadi jembatan perubahan yang jujur. Dalam cerita yang lain, pers pernah tampil sebagai pahlawan dalam memberitakan fakta kemiskinan akibat dampak dari praktek bernegara yang buruk. Bagaimana tidak buruk, dua wilayah yang berdekatan hidup sangat kontras. Yang satunya kelebihan pangan sementara yang satunya hidup dalam krisis pangan, yang mengakibatkan gizi buruk terjadi secara meluas. Kondisi tersebut dapat dipecahkan setelah media menggugah semua pihak untuk turun tangan menyelesaikan masalah kemiskinan didaerah yang masih satu wilayah tersebut. (Amartya Sen; Masih Adakah Harapan Bagi Rakyat Miskin, 2008). Merujuk pada karakter media khusus Cenderawasih Pos yang punya citra sosial terbesar di Papua, maka diperoleh kesimpulan; (1). Pers di Papua masih berorientasi pada kapital sehingga kecenderungan pemberitaannya masih bersifat seremonial, memoles pencitraan dan pro pada idiologi tertentu. (2). Pers di Papua belum mampu membangun wawasan kepada pekerja jurnalistiknya (wartawan) bertugas memecahkan masalah-masalah yang melilit masyarakat Papua.
Dari setidaknya 2 (dua) masalah yang menyandera tersebut, wajar bila ada sebagian kalangan menyebut orientasi pers di Papua bukan mencerahkan tapi justru hanya mengejar rente yang pro pada kapitalis. Ciri dari pemberitaan yang bersifat kapitalis adalah menghegemoni, memoles pencitraan dan menancapkan pengaruh ideologi tertentu dalam masyarakat pembaca. Karena itu tidak berlebihan bila pers juga harus bertanggung jawab terhadap setiap persoalan yang tejadi di tanah Papua. Berpijak pada kenyataan tersebut, maka pers di Papua perlu mereorientasi perannya dengan tampil lebih objektif, terbuka dan seimbang. Bahkan jangan ragu memberi ruang seluas-luasnya pada publik untuk bicara tentang realitas yang sesugguhnya. Dengan cara seperti itu, kita harapkan berbagai problem di Papua dapat diungkap secara transparan melalui saluran demokrasi yang telah banyak terbukti mampu memecahkan masalah bangsa diseluruh dunia. Pers disebut saluran demokrasi karena ia satu-satunya penyanggah demokrasi yang relatif bisa diharapkan memecahkan masalah apapun di Papua secara baik. Satu kecenderungan media di Papua yang rawan disandera kapitalis yang harus dihindari adalah; ketika besar ia akan tergoda dengan berbagai rayuan.
Tidak ingin menyebut nama, tapi media ini dalam waktu yang relatif baru, mampu memberi ruang bagi publik terlibat dalam melihat fakta yang sesungguhnya ada di Papua. Biasanya setelah seluruh masalah terbuka, maka akan diikuti dengan solusi pemecahan yang komprehensif. Pemberitaan yang relatif terbuka pasca KTT ILWP sebulan ini (rentetan kekerasan) mampu membuka mata publik menilai apapun yang terjadi secara transparan. Memang suasana lebih rentan, tapi ini jauh lebih baik daripada yang terjadi adalah meluasnya desas-desus mapun isu-isu liar yang tidak jelas sumbernya dan rawan memantik konflik secara luas.
Penulis adalah Direktur La-Keda Institute, Papua BP, Senin, 05 September 2011 20:53
Baca Selengkapnya

Desakan Referendum Sampai ke DPRP



JAYAPURA—Seperti yang direncanakan sebelumnya, Jumat (18/6) kemarin ribuan masyarakat dari 7 wilayah adat di Provinsi Papua, serta elemen masyarakat, melakukan long march (berjalan kaki) dari Kantor MRP Kotaraja menuju DPRD untuk menyerahkan 11 hasil pleno Musyawarah Besar (Mubes) MRP bersama masyarakat adat Papua, diantaranya keinginan rakyat Papua menuntut referendum. Ribuan massa sejak pagi hari berkumpul di Kantor MRP di Kotaraja selanjutnya berjalan kaki (long march) menuju ke Gedung DPRP. Diantara massa itu terlihat Ketua MRP Agus Alua.
v Sebelas hasil keputusan Mubes MRP dan Masyarakat Adat yang diserahkan perwakilan masyarakat adat yang diterima oleh DPRP, diwakili Wakil Ketua I, Yunus Wonda, di DPRD Jumat (18/6) kemarin.
. Rombongan masyarakat yang memakai busana adat, bahkan sejumlah pria memakai koteka. Saat tiba di Halaman Gedung DPRP, massa membentang sejumlah spanduk, yang antara lain bertuliskan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua telah gagal total tak ada solusi kecuali Papua merdeka, Referendum solusi terakhir bangsa Papua Barat, Otsus gagal hak hidup rakyat Papua terancam.
Koordinator aksi Pdt John Baransano pada saat itu mengajak masyarakat pendemo mengepalkan tangan sebagai simbol perkabungan bagi rakyat Papua sembari mengajak massa menyeruhkan Papua Merdeka, Papua Merdeka. “Mari kita berjuang melawan penindasan tanpa melakuka kekerasan,” tukas Baransano. Beberapa saat kemudian pimpinan dan anggota DPRP antara lain Yunus Wonda, Ruben Magay, Thomas Sondegau, Bob Pattipawae, Nasson Utti dan lain lain turun dari lantai dua menemui massa. Salah seorang penggagas hasil Mubes MRP, Dr Benny Giay menegaskan, pihaknya berada di tempat ini, karena satu berjuangan untuk mengembalikan Otsus, merebut kembali harga diri bangsa Papua, merebut kembali hak- hak rakyat Papua yang dirampas. Selanjutnya Giay dituntun Pdt John Baransano menyalahkan sebuah lilin sebagai suatu simbol mengenang para leluhur yang telah pergi selama lamanya demi membela hak- hak rakyat Papua.

“Kami bukan bangsa bodoh seperti yang engkau pikirkan,” ucap Giay disambut pekikan merdeka dari massa. Ketua Komisi DPRP Ruben Magay menandaskan, tuntunan referendum adalah bagian dari akumulasi kegagalan kebijakan negara untuk melakukan evaluasi total dalam membangun rakyat Papua. “Referendum adalah jalan keluar yang menentukan masa depan rakyat Papua,” tutur politisi Partai Demokrat ini. Menurutnya, kalau masyarakat telah melakukan tuntutan referendum terhadap apa yang telah dikerjakan. Hal ini berpulang kepada kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat yang selama ini masa bodoh. Pemerintah dinilai gagal membangun rakyat Papua. Hari ini orang masih berbicara merdeka, OPM, separatis, referendum dan lain lain itu semua kegagalan Negara, khususnya mereka yang mendapat tugas negara untuk membangun Papua. “Kalau isu itu masih ada berarti mereka gagal mengindonesiakan Papua,” tukas Magay. Senada dengan itu, Anggota Komisi C DPRP Tony Infandi STh mengemukakan, tuntutan referendum adalah hal yang wajar dalam dunia internasional, apalagi Indonesia adalah salah satu negara yang sedang subur suburnya menghidupkan demokrasi, supermasi hukum, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan pers dan perjuangan HAM dan lain lain. Pemerintah Indonesia tak boleh membatasi aspirasi rakyat, tapi justru pemerintah harus menyambut dengan positif karena aspirasi merupakan bagian dalam rangka mendapatkan pengakuan dari dunia internasional bahwa NKRI tak kaku dalam menjalankan aspek aspek tersebut. “Masih ada cukup banyak waktu bagi MRP untuk memperjuangkan aspirasi rakyat Papua. Persoalannya adalah kembali kepada MRP bagaimana caranya memberdayakan rakyat Papua dalam kontes tantanan negara dan pembangunan provinsi Papua kedepan. Dikatakan pendeta Gereja Bethel Indonesia ini, jangan sampai hanya gara gara SK MRP No 14 Tahun 2009 tak disetujui Mendagri lalu kemudian mengambil langkah langkah yang dapat menyulitkan rakyat Papua sendiri karena tak boleh ada kebijakan yang mengabaikan rakyat. “Apapun yang disampaikan rakyat Papua mesti dapat ipertanggungjawabkan sesuai kebijakan dalam koridor hukum yang berlaku,” tukasnya. (mdc/hen/ Ven )


Written by Bingtang Papua
Saturday, 19 June 2010 15:50

-----------


INILAH.COM, Jakarta - Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi PDI perjungan TB Hasanuddin menilai ancaman pengusiran Duta Besar Indonesia untuk untuk Papua Nugini oleh Perdana Menteri Papua Nugini (PNG) Peter O'Neil sangatlah berlebihan.
Pasalnya Pemerintah Indonesia telah menjampaikan penjelasan resmi terkait intersepsi (pencegatan) pesawat Falcon 900 yang ditumpangi Wakil Perdana Menteri PNG belden Namah ol; eh pesawat TNI AU di kawasan udara Banjarmasin, Kalimantan. "Sikap perdana mentri Papua Nugini untuk mengusir dubes RI dianggap berlebihan dan over acting , "ujar TB Hasanuddin kepada INILAH . COM, Minggu (8/1/2012). TB mengatakan, apa yang dilakukan oleh TNI AU sudah sesuai dengan prosedur yang ada. Sehingga aksi intersepsi tersebut dilakukan. Dalam prosedur tugas patroli penerbangan-penerbangan TNI AU, sudah sesuatu yang wajar jika setiap pesawar-pesawat yang tidak dikenal atau ragu-ragu dikenal dilakukan pengecekan di udara. Apalagi pesawat tak dikenal itu melintasi wilayah teritorial Indonesia. "Tak ada yang salah dari patroli-patroli TNI AU, itu merupakan prosedur yang layak dimana pun disemua negara berdaulat," jelasnya. Sebelumnya, 29 Desember 2011, pesawat Perdana Menteri Papua Nugini berhasil digiring keluar wilayah udara Indonesia oleh dua buah pesawat tempur F 16 TNI Angkatan Udara. Akibat kejadian ini, Perdana Menteri Papua Nugini melakukan protes keras. Bahkan, ia mengancam akan mengusir duta besar Indonesia yang berada disana jika pemerintah tidak memberikan penjelasan atas insiden itu. Departemen Luar Negeri Indonesia menyatakan bahwa intersepsi yang dilakukan oleh pesawat TNI AU terhadap pesawat yang membawa Deputi Perdana Menteri Papua Nugini, belden Namah, sesuai dengan prosedur dan tidak pernah membahayakan pesawat dimaksud. Menurut Pemerintah Indonesia, langkah-langkah yang dilakukan Indonesia, TNI Angkatan Udara, untuk melakukan intersepsi terhadap pesawat dimaksud telah sesuai dengan prosedur yang berlaku di Indonesia dan di negara-negara lain pada umumnya. Tindakan yang diambil oleh Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas), adalah melakukan identifikasi elektronik dengan radar dan identifikasi visual dengan cara intersepsi sesuai prosedur standar. Hal itu dilakukan karena ada perbedaan data antara "flight clearance" yang dimiliki Kohanudnas dan hasil tangkapan radar bandara maupun radar Kohanudnas. [MVI]
Baca Selengkapnya

Parlemen Belanda Minta Pasukan PBB Ke Papua

PAPUAN, Belanda ---- Parlemen Belanda Bidang Komisi Luar Negeri, dalam salah tuntutannya meminta agar Pemerintah Belanda segera mengusahakan bantuan keamanan internasional (pasukan PBB) untuk mengamankan Papua terhadap tindakan represif yang dilakukan aparat TNI/Polri dan Densus 88. Selain itu, Komisi Luar Negeri juga meminta agar Belanda mengirimkan diplomatnya untuk memantau keadaan di Papua dan juga menggunakan kekuasaan pemerintah untuk berdialog dengan pemerintah Indonesia agar segera menghentikan segala bentuk kekerasan di Papua. Pernyataan tersebut terungkap dalam pertemuan antara Parlemen Belanda dan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Luar Negeri Belanda Dr. Uri Rosenthal, pada Kamis (22/12), pukul 16.30 – 18.00 waktu Belanda, di Gedung Parlemen Belanda, Kota Den Haag. Kepada Papuan Voices, Mesakh Bame, salah satu warga Papua yang sedang bermukim di Boekel, Belanda, mengatakan pertemuaan tersebut adalah yang untuk pertama kalinya dan merupakan peristiwa bersejarah bagi Papua, dan termasuk bagi Belanda.


“Demi menjaga harmonisnya hubungan Belanda dan Indonesia, masalah Papua tidak pernah dibicarakan, tapi saat ini kami bersyukur pemerintah melalui seorang Menteri luar Negeri bersedia memberikan waktunya guna membahas masalah Papua.” Komisi Luar Negeri juga menyampaikan bahwa apa yang terjadi pada Kongres Rakyat Papua III pada tanggal 19 Oktober 2011, dan peristiwa operasi militer di Eduda, Kabupaten Paniai, pada tanggal 13 Desember 2011 adalah contoh kebrutalan TNI/Polri (pemerintah Indonesia) dalam menangani konflik di Papua.
Lanjut Bame, dalam kesempatan tersebut Komisi Luar Negeri juga meminta agar pemerintah Belanda harus segera bertindak untuk menghentikan setiap tindakan yang tidak manusiawi terhadap orang Papua.
“Semua ini dilakukan karena Belanda merasa memiliki tanggung jawab moril terhadap Papua karena merupakan bekas wilayah jajahan dulu.” Bame juga menjelaskan, Komisi Luar Negeri juga menuduh pemerintah Australia telah membantu Indonesia untuk memusnahkan orang Papua dengan membantu Densus 88. Selain itu, tambah Bame, mereka juga mengatakan pemerintah Belanda dan Belgia turut bertanggungjawab terhadap apa yang terjadi di Papua saat ini, yakni semakin tingginya pelanggaran HAM di Papua sebagai akibat dari hubungan kerja sama kedua pemerintah tersebut dengan pemerintah Indonesia dalam bidang militer. “Komisi Luar Negeri dengan tegas telah meminta kepada kedua pemerintah tersebut agar segera menghentikan bantuan militer (berupa persenjataan dan lain-lain) kepada Indonesia.”
Dalam pertemuan tersebut, Bame menjelaskan, turut membicarakan operasi militer yang sedang berlangsung di Kabupaten Paniai dan keterlibatan pihak asing (perusahaan tambang emas milik Australia) yang berada di Paniai dalam membantu TNI/Polri dan Densus 88.
Menyoal Otsus, Komisi Luar Negeri mengatakan bahwa sudah sekian tahun berjalan namun tidak ada tanda-tanda keberhasilan, dan justru mereka sendiri menanyakan tentang UP4B.

“Jika Otsus sudah gagal, maka bagaimana dengan paket UP4B nanti?” tanya Bame seperti disampaikan salah satu anggota parlemen dalam pertemuan tersebut.
“Yang paling penting, Komisi Luar Negeri sekali lagi menyatakan kepada pemerintah Belanda bahwa masalah atau konflik di Papua adalah masalah yang serius dan harus mendapat perhatian khusus,” tutupnya. Pertemuan bersejarah ini terselenggara atas desakan Dewan Gereja-Gereja Pasifik dan lembaga-lembaga hak asasi manusia lainnya, termasuk pasca operasi militer yang berlangsung di Paniai dan telah menelan korban sebanyak 14 orang warga sipil.

 . *
Posted by Papuan Voices On Sabtu, Desember 24, 2011


Baca Selengkapnya

Monday, January 16, 2012

Beny Wenda Vs Inggris

 Pada 15 Oktober 2008 diselenggarakan pertemuan sekitar 30 aktivis Papua Merdeka dan beberapa anggota parlemen (2 dari Inggris dan masing-masing 1 dari Vanuatu dan Papua Nugini). Pertemuan ini membentuk forum yang disebut International Parliamentarians for West Papua (IPWP). Nampaknya, para aktivis penyelenggara mencoba mengulang sukses International Parliamentarians for East Timor (IPET) yang katanya sukses mendorong kemerdekaan Timor Leste.
Belum bisa dikatakan bahwa mereka akan mengulang sukses IPET karena ini masih merupakan langkah awal. Kekuatan politiknya bergantung pada apakah dukungan dari anggota parlemen dari berbagai negara akan bertambah. Sejauh ini memang IPWP tidak mencerminkan sikap parlemen Inggris yang terdiri dari 646 anggota House of Commons dan 746 anggota House of Lords. Lebih jauh lagi, IPWP juga tidak bisa dikatakan mencerminkan sikap pemerintah Inggris.

Fenomena pembentukan IPWP di gedung parlemen Inggris adalah keberhasilan kampanye kelompok Papua Merdeka di Oxford yang terdiri dua pemain inti yakni eksil politik asal Wamena Benny Wenda dan seorang Pendeta Inggris Richard Samuelson. Benny dan Richard berhasil meyakinkan sejumlah aktivis LSM di Inggris dan di Belanda untuk mendukung kampanye mereka. Usaha keras mereka berhasil setidaknya meyakinkan dua anggota parlemen Inggris Lord Harries of Pentregarth MP dan Hon. Andrew Smith MP dan mendatangkan masing-masing seorang anggota parlemen Vanuatu dan Papua Nugini. Seorang bekas anggota IPET juga hadir di situ.

Dari sisi jaringan gerakan, Benny berhasil membangun pengaruh di kalangan aktivis asal pegunungan di Papua dan di Jawa. Demo pendukung IPWP sebanyak 700-an orang di Jayapura pada 16 Oktober 2008 yang dipimpin Buktar Tabuni, Dominggu Rumaropen dan kawan-kawan menunjukkan bahwa terdapat kaitan erat di antara kelompok Inggris dengan kelompok Jayapura (Papua). Yang menarik, Benny dan jaringannya berhasil membangkitkan harapan tinggi dan eforia massa terhadap kemerdekaan Papua. Banyak anak muda Papua percaya bahwa IPWP hari itu mendeklarasikan kemerdekaan Papua. Oleh karena itu dalam sebuah wawancara Sekjen PDP Thaha Alhamid perlu menglarifikasi bahwa pertemuan tersebut dimaksudkan untuk menggalang dukungan internasional dan bukan hari kemerdekaan Papua. Ada kesan bahwa Benny dan kawan-kawan membesar-besarkan signifikansi politik IPWP.

Keberhasilan kampanye kelompok Benny tampak pula dari reaksi pemerintah Indonesia. Tidak kurang dari Duta Besar Indonesia untuk Inggris Yuri Thamrin dan sejumlah petinggi Indonesia di Jakarta memberikan pernyataan bahwa IPWP tidak signifikan secara politik karena tidak mencerminkan sikap pemerintah Inggris. Terlebih lagi, petinggi polisi dari Mabes Polri juga menyatakan bahwa Benny Wenda adalah kriminal yang melarikan diri dari penjara. Pernyataan yang dimuat di berbagai media massa itu justru menunjukkan bahwa kampanye IPWP telah berhasil membuat „stabilitas‟ Papua terganggu dan dengan sendirinya pemerintah Indonesia juga merasa terganggu. Terasa sekali bahwa counter pihak pemerintah Indonesia reaktif dan tidak berhasil membangun simpati publik internasional.
Tidak banyak orang tahu bahwa Benny sangat kecewa dengan pemerintah Inggris. Hal ini terlihat dari suratnya kepada PM Inggris Gordon Brown tertanggal 5 Mei 2008. Dia mengklaim telah berkeliling Inggris dan mendapatkan dukungan rakyat Inggris. Tetapi menurutnya pemerintah Inggris mengabaikan dukungan rakyatnya. Singkatnya, Benny tidak melihat sedikit pun tanda bahwa pemerintah Inggris memberikan dukungan pada gerakan Papua Merdeka. Sangat wajar bahwa Benny Wenda kecewa dengan sikap dan pandangan resmi pemerintah Inggris. Sikap pemerintah Inggris itu jelas terlihat di dalam notulensi percakapan di House of Lords antara Menteri Persemakmuran Malloch-Brown dengan beberapa anggota parlemen mengenai isu Papua pada 13 November 2007. Isu Papua itu sendiri pada saat itu diangkat oleh Lord Harries of Pentregarth yang juga kemudian menjadi anggota IPWP.
Menteri Malloch-Brown menyatakan bahwa pemerintah Inggris tidak merencanakan untuk mengangkat masalah Papua di forum Dewan Keamanan PBB. Pemerintah Inggris menghormati integritas teritorial Indonesia dan tidak mendukung kemerdekaan Papua. Inggris percaya bahwa pelaksanaan UU Otonomi Khusus secara penuh adalah jalan terbaik untuk penyelesaian masalah perbedaan internal dan stabilitas jangka panjang Papua secara berkelanjutan. Jalan terbaik untuk mengurai isu Papua yang kompleks adalah dengan memromosikan dialog damai antara kelompok-kelompok Papua dengan pemerintah Indonesia. Pemerintah Inggris mengakui bahwa terdapat banyak perdebatan tentang apakah pada Pepera 1969 orang Papua membuat keputusan secara obyektif dan secara bebas menurut keinginan mereka. Meskipun demikian, kata Malloc-Brown, hasil Pepera 1969 sudah diterima oleh PBB pada saat itu dan sejak itu tidak ada lagi keraguan internasional bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia. Dalam bidang HAM, Inggris sudah mencantumkannya di laporan HAM Kementerian Luar Negeri dan pemerintah mengangkatnya melalui kedutaan Inggris di Jakarta. Meskipun demikian pemerintah Inggris melihat bahwa skala pelanggaran tersebut masih relatif kecil dan tidak bisa menjadi alasan utama (untuk kemerdekaan Papua). Kedua, karena pemerintah Inggris tidak menerima kemerdekaan Papua, maka Inggris tidak menganggapnya pantas untuk mengangkat isu Papua di Dewan Keamanan atau Sidang Umum.
Kekecewaan pemerintah Inggris (terhadap pemerintah Indonesia) adalah bahwa pelaksanaan UU Otsus tidak mengalami kemajuan akibat pertentangan antara pemerintah dengan kelompok lokal Papua. Meskipun demikian, Inggris percaya bahwa pemerintah Indonesia di bawah Susilo Bambang Yudhoyono lebih menghormati HAM daripada Rezim sebelumnya. Para pejabat di Kedutaan Inggris di Jakarta telah mengunjungi Papua secara berkala dan menemui pejabat lokal, akademisi, wartawan dan LSM, dan hasilnya pemerintah Inggris menyampaikan keprihatinannya kepada pemerintah Indonesia.

Secara tegas Malloch-Brown mengatakan, “Saya menolak karakterisasi Papua sebagai Dafur kecil (menentang pernyataan Lord Kilclooney). ...We insist that it (Papua) should not be bracketed with major abuses such as Darfur, Zimbabwe or Burma.”
(Muridan S. Widjojo)
 

Baca Selengkapnya

Wednesday, January 11, 2012

Welcome

Selamat Datang Di Blog Ini................
Baca Selengkapnya