Tuesday, January 17, 2012

‘Cap Makar’ Jangan Dijadikan Alasan


- Untuk Melakukan Tindakan Kekerasan Bagi Orang Papua

JAYAPURA - Pasca Kongres Rakyat Papua III yang berakhir jatuhnya korban jiwa, mendorong Lima Ketua Dewan Adat Papua buka suara, dengan mengeluarkan penyataan sikap. Intinya, mereka menyesalkan adanya tindakan kekerasan yang dilakukan aparat sehingga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Mereka juga minta jangan stigma atau ‘cap makar’ atau separatis yang dialamatkan kepada orang Papua dijadikan alasan pembenaran untuk melakukan tindakan kekerasan. Lima perwakilan masyarakat Adat Papua itu, masing masing Ketua Dewan Adat Biak, Yan Pieter Yarangga, Ones Wanande Ketua Dewan Adat Mampta, Lemak Mabel \Ketua Dewan Adat wilayah Baliem, Yulius Hisage ketua Dewan Adat Hubula Lembah Baliem dan Izak Heselo Ketua Dewan Adat Hosolimo Kurima Wamena. Menurut mereka, betapapun hasil Kongres yang selesai digelar oleh aparat dinilai bertentangan dengan hukum di Indonesia, namun Dewan Adat Papua menilai tindakan represif yang berlebihan dan tidak manusiawai yang dilakukan aparat TNI – POLRI merupakan tindakan yang tak dapat ditolerir.
Kelima Perwakilan masyarakat Adat Papua ini dalam pernyataannya kepada Wartawan menyatakan, tindakan kekerasan kepada rakyat Papua peserta kongres yang dilakukan aparat bersenjata terhadap rakyat Papua tak bersenjata menunjukkan aparat keamanan sesungguhnya masih mempertahankan pola- pola lamanya, yang militeristik dalam merespon tuntutan Politik Masyarakat Papua. Seolah olah cap makar dan separatis yang dikenakan kepada orang Papua merupakan pembenaran bagi aparat keamanan untuk melakukan tindak kekerasan. Kelima Dewan Adat Papua ini menyatakan, peristiwa pasca Kongres III Papua merupakan rangkaian dari kesekian kasus yang merenggut nyawa masyarakat adat Papua diatas Tanah leluhurnya, yang sampai pada hari ini tak pernah diusut, diungkap serta pelakunya dibawah ke pengadilan untuk diselesaikan secara adil oleh Pemerintah Republik Indonesia. Di lain pihak, masyarakat adat Papua selalu saja diseret dalam proses hukum dengan berbagai macam cara dan alasan yang faktanya adalah maraknya praktek impunitas yang masih dipertontonkan oleh negara terhadap rakyat Papua. Berdasarkan pengalaman itulah, maka segenap masyarakat adat Papua menyatakan rasa dukanya yang mendalam terhadap masyarakat adat Papua yang menjadi korban dari insiden pasca Kongres III Rakyat Papua pada 19 Oktober 2011 lalu, dimana kejadian ini satu dari lembaran kelam panjang yang terus menerus menimpa masyarakat adat Papua sejak hadirnya Pemerintah Indonesia di Tanah Papua.
Kelima Perwakilan Masyarakat Adat Papua ini kepada wartawan mengemukakan bahwa sebagai masyarakat adat mereka sangat menyesalkan dan mengutuk keras tindakan brutalitas aparat dalam insiden pasca Kongres III Rakyat Papua yang dilakukan terhadap masyarakat adat Papua. Tindakan sama dilakukan terhadap Ondofolo Forkorus Yaboisembut dimana Ondofolo Forkorus diseret, dipukul, ditendang, dijemur dan mendapat caci makian, Menurut Lima Ketua Dewan Adat Papua ini, tindakan brutalitas aparat ini sangat merendahkan martbat kemanusiaan beliau, apalgi dalam proses beliau sebagi seorang Pemimpin adat/Ondofolo dan Ketua Dewan Adat Papua.
Para Ketua Dewan adat melihat insiden pasca Kongres merupakan satu dari sekian insiden lainnya yang terkait persoalan Politik Papua yang terus terulang dan menimpa masyarakat Adat Papua, kami berkeyakinan bahwa hal seperti ini akan mungkin terus terjadi dimasa yang akan datang, apabila akar persoalan yang melatarbelakangi berbagai aksi Politik masyarakat adat Papua tidak diselesaikan secara adil dan bermartabat. Menurut kelima ketua Dewan adat, Kongres Rakyat Papua yang usai digelar semua berjalan aman karena antara para peserta kongres saling salam menyalami, setelah akan meninggalkan lapangan Kongres, semua peserta Kongres berjalan dengan tenang, dua jam kemudian aparat melakukan penyerangan dan membubarkan massa kongres yang tidak bersenjata dan tidak melakukan perlawanan, namun terus dikejar dan dianggap musuh, seharusnya aparat malu berhadapan denga masyarakat adat Papua yang tidak bersenjata dan melakukan perlawanan, justru kami menilai tindakan mengejar dan brutalitas aparat itulah yang disebut makar, ungkap mereka. Dewan Adat mempertanyakan kembali surat ijin yang dikeluarkan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan yang resmi dikirimkan kepada Pantia Kongres dengan menugaskan Dirjen Otda Kemdagri untuk membuka dan menjadi Keynode Speaker pada KRP III di Auditorium Uncen Jayapura, dengan sepihak Pula Kemendagri memerintahkan membubarkan Kongres karena dinilai makar.
“Kalau Kami melakukan makar dengan adanya Bintang Kejora yang dibawakan dalam tarian, sesungguhnya itu bukan makar, yang dapat dikatakan makar, ketika bendera Bintang Kejora dipasang dan dinaikkan pada tiang dan ditancapkan saat Kongres, namun kenyataan itu tak terbukti,” ungkap mereka. Para Ketua Dewan Adat juga menyingkung tempat pelaksanaan Kongres yang dilakukan di lapangan, dikatakan ini menunjukkan Pemerintah sudah tidak menghargai masyarakat Adat Papua dan dianggap tidak ada, “padahal kami ini datang untuk bicarakan hak hak dasar kami dalam negara ini yang terabaikan dan kami telah diusir keluar dan tidak diberi tempat layak dalam sebuah gedung sebagaimana permintaan kami untuk menempati gedung Auditorium dan GOR,”katanya. Hal ini menujukkan Pemerintah, terutama Kemendagri terus melakukan pembohongan terhadap orang Papua, padahal mereka sendiri mengeluarkan ijin resmi bahwa Kongres Rakyat Papua III boleh dilaksanakan, lantas kemudian mereka juga melarang dan merintahkan aparat melakukan penangkapan. (Ven/don/l03)
By admin on October 28, 2011 

0 komentar:

Post a Comment