- Untuk Melakukan Tindakan Kekerasan Bagi Orang
Papua
JAYAPURA - Pasca Kongres Rakyat Papua III yang
berakhir jatuhnya korban jiwa, mendorong Lima Ketua Dewan Adat Papua buka
suara, dengan mengeluarkan penyataan sikap. Intinya, mereka menyesalkan adanya
tindakan kekerasan yang dilakukan aparat sehingga mengakibatkan jatuhnya korban
jiwa. Mereka juga minta jangan stigma atau ‘cap makar’ atau separatis yang
dialamatkan kepada orang Papua dijadikan alasan pembenaran untuk melakukan
tindakan kekerasan. Lima perwakilan masyarakat Adat Papua itu, masing masing
Ketua Dewan Adat Biak, Yan Pieter Yarangga, Ones Wanande Ketua Dewan Adat
Mampta, Lemak Mabel \Ketua Dewan Adat wilayah Baliem, Yulius Hisage ketua Dewan
Adat Hubula Lembah Baliem dan Izak Heselo Ketua Dewan Adat Hosolimo Kurima
Wamena. Menurut mereka, betapapun hasil Kongres yang selesai digelar oleh
aparat dinilai bertentangan dengan hukum di Indonesia, namun Dewan Adat Papua
menilai tindakan represif yang berlebihan dan tidak manusiawai yang dilakukan aparat
TNI – POLRI merupakan tindakan yang tak dapat ditolerir.
Kelima Perwakilan masyarakat Adat Papua ini dalam pernyataannya kepada Wartawan menyatakan, tindakan kekerasan kepada rakyat Papua peserta kongres yang dilakukan aparat bersenjata terhadap rakyat Papua tak bersenjata menunjukkan aparat keamanan sesungguhnya masih mempertahankan pola- pola lamanya, yang militeristik dalam merespon tuntutan Politik Masyarakat Papua. Seolah olah cap makar dan separatis yang dikenakan kepada orang Papua merupakan pembenaran bagi aparat keamanan untuk melakukan tindak kekerasan. Kelima Dewan Adat Papua ini menyatakan, peristiwa pasca Kongres III Papua merupakan rangkaian dari kesekian kasus yang merenggut nyawa masyarakat adat Papua diatas Tanah leluhurnya, yang sampai pada hari ini tak pernah diusut, diungkap serta pelakunya dibawah ke pengadilan untuk diselesaikan secara adil oleh Pemerintah Republik Indonesia. Di lain pihak, masyarakat adat Papua selalu saja diseret dalam proses hukum dengan berbagai macam cara dan alasan yang faktanya adalah maraknya praktek impunitas yang masih dipertontonkan oleh negara terhadap rakyat Papua. Berdasarkan pengalaman itulah, maka segenap masyarakat adat Papua menyatakan rasa dukanya yang mendalam terhadap masyarakat adat Papua yang menjadi korban dari insiden pasca Kongres III Rakyat Papua pada 19 Oktober 2011 lalu, dimana kejadian ini satu dari lembaran kelam panjang yang terus menerus menimpa masyarakat adat Papua sejak hadirnya Pemerintah Indonesia di Tanah Papua.
Kelima Perwakilan masyarakat Adat Papua ini dalam pernyataannya kepada Wartawan menyatakan, tindakan kekerasan kepada rakyat Papua peserta kongres yang dilakukan aparat bersenjata terhadap rakyat Papua tak bersenjata menunjukkan aparat keamanan sesungguhnya masih mempertahankan pola- pola lamanya, yang militeristik dalam merespon tuntutan Politik Masyarakat Papua. Seolah olah cap makar dan separatis yang dikenakan kepada orang Papua merupakan pembenaran bagi aparat keamanan untuk melakukan tindak kekerasan. Kelima Dewan Adat Papua ini menyatakan, peristiwa pasca Kongres III Papua merupakan rangkaian dari kesekian kasus yang merenggut nyawa masyarakat adat Papua diatas Tanah leluhurnya, yang sampai pada hari ini tak pernah diusut, diungkap serta pelakunya dibawah ke pengadilan untuk diselesaikan secara adil oleh Pemerintah Republik Indonesia. Di lain pihak, masyarakat adat Papua selalu saja diseret dalam proses hukum dengan berbagai macam cara dan alasan yang faktanya adalah maraknya praktek impunitas yang masih dipertontonkan oleh negara terhadap rakyat Papua. Berdasarkan pengalaman itulah, maka segenap masyarakat adat Papua menyatakan rasa dukanya yang mendalam terhadap masyarakat adat Papua yang menjadi korban dari insiden pasca Kongres III Rakyat Papua pada 19 Oktober 2011 lalu, dimana kejadian ini satu dari lembaran kelam panjang yang terus menerus menimpa masyarakat adat Papua sejak hadirnya Pemerintah Indonesia di Tanah Papua.
Kelima Perwakilan Masyarakat Adat Papua ini
kepada wartawan mengemukakan bahwa sebagai masyarakat adat mereka sangat
menyesalkan dan mengutuk keras tindakan brutalitas aparat dalam insiden pasca
Kongres III Rakyat Papua yang dilakukan terhadap masyarakat adat Papua. Tindakan
sama dilakukan terhadap Ondofolo Forkorus Yaboisembut dimana Ondofolo Forkorus
diseret, dipukul, ditendang, dijemur dan mendapat caci makian, Menurut Lima
Ketua Dewan Adat Papua ini, tindakan brutalitas aparat ini sangat merendahkan
martbat kemanusiaan beliau, apalgi dalam proses beliau sebagi seorang Pemimpin
adat/Ondofolo dan Ketua Dewan Adat Papua.
Para Ketua Dewan adat melihat insiden pasca
Kongres merupakan satu dari sekian insiden lainnya yang terkait persoalan
Politik Papua yang terus terulang dan menimpa masyarakat Adat Papua, kami
berkeyakinan bahwa hal seperti ini akan mungkin terus terjadi dimasa yang akan
datang, apabila akar persoalan yang melatarbelakangi berbagai aksi Politik
masyarakat adat Papua tidak diselesaikan secara adil dan bermartabat. Menurut
kelima ketua Dewan adat, Kongres Rakyat Papua yang usai digelar semua berjalan
aman karena antara para peserta kongres saling salam menyalami, setelah akan
meninggalkan lapangan Kongres, semua peserta Kongres berjalan dengan tenang,
dua jam kemudian aparat melakukan penyerangan dan membubarkan massa kongres
yang tidak bersenjata dan tidak melakukan perlawanan, namun terus dikejar dan
dianggap musuh, seharusnya aparat malu berhadapan denga masyarakat adat Papua
yang tidak bersenjata dan melakukan perlawanan, justru kami menilai tindakan
mengejar dan brutalitas aparat itulah yang disebut makar, ungkap mereka. Dewan
Adat mempertanyakan kembali surat ijin yang dikeluarkan Kementerian Koordinator
Bidang Politik, Hukum dan Keamanan yang resmi dikirimkan kepada Pantia Kongres
dengan menugaskan Dirjen Otda Kemdagri untuk membuka dan menjadi Keynode
Speaker pada KRP III di Auditorium Uncen Jayapura, dengan sepihak Pula
Kemendagri memerintahkan membubarkan Kongres karena dinilai makar.
“Kalau Kami
melakukan makar dengan adanya Bintang Kejora yang dibawakan dalam tarian,
sesungguhnya itu bukan makar, yang dapat dikatakan makar, ketika bendera
Bintang Kejora dipasang dan dinaikkan pada tiang dan ditancapkan saat Kongres,
namun kenyataan itu tak terbukti,” ungkap mereka. Para Ketua Dewan Adat juga
menyingkung tempat pelaksanaan Kongres yang dilakukan di lapangan, dikatakan
ini menunjukkan Pemerintah sudah tidak menghargai masyarakat Adat Papua dan
dianggap tidak ada, “padahal kami ini datang untuk bicarakan hak hak dasar kami
dalam negara ini yang terabaikan dan kami telah diusir keluar dan tidak diberi
tempat layak dalam sebuah gedung sebagaimana permintaan kami untuk menempati
gedung Auditorium dan GOR,”katanya. Hal ini menujukkan Pemerintah, terutama
Kemendagri terus melakukan pembohongan terhadap orang Papua, padahal mereka
sendiri mengeluarkan ijin resmi bahwa Kongres Rakyat Papua III boleh
dilaksanakan, lantas kemudian mereka juga melarang dan merintahkan aparat
melakukan penangkapan. (Ven/don/l03)
By admin on October 28, 2011
0 komentar:
Post a Comment