Pada 15 Oktober
2008 diselenggarakan pertemuan sekitar 30 aktivis Papua Merdeka dan beberapa
anggota parlemen (2 dari Inggris dan masing-masing 1 dari Vanuatu dan Papua
Nugini). Pertemuan ini membentuk forum yang disebut International
Parliamentarians for West Papua (IPWP). Nampaknya, para aktivis penyelenggara
mencoba mengulang sukses International Parliamentarians for East Timor (IPET)
yang katanya sukses mendorong kemerdekaan Timor Leste.
Belum bisa
dikatakan bahwa mereka akan mengulang sukses IPET karena ini masih merupakan
langkah awal. Kekuatan politiknya bergantung pada apakah dukungan dari anggota
parlemen dari berbagai negara akan bertambah. Sejauh ini memang IPWP tidak
mencerminkan sikap parlemen Inggris yang terdiri dari 646 anggota House of
Commons dan 746 anggota House of Lords. Lebih jauh lagi, IPWP juga tidak bisa
dikatakan mencerminkan sikap pemerintah Inggris.
Fenomena pembentukan IPWP di gedung parlemen Inggris adalah keberhasilan kampanye kelompok Papua Merdeka di Oxford yang terdiri dua pemain inti yakni eksil politik asal Wamena Benny Wenda dan seorang Pendeta Inggris Richard Samuelson. Benny dan Richard berhasil meyakinkan sejumlah aktivis LSM di Inggris dan di Belanda untuk mendukung kampanye mereka. Usaha keras mereka berhasil setidaknya meyakinkan dua anggota parlemen Inggris Lord Harries of Pentregarth MP dan Hon. Andrew Smith MP dan mendatangkan masing-masing seorang anggota parlemen Vanuatu dan Papua Nugini. Seorang bekas anggota IPET juga hadir di situ.
Dari sisi jaringan gerakan, Benny berhasil membangun pengaruh di kalangan aktivis asal pegunungan di Papua dan di Jawa. Demo pendukung IPWP sebanyak 700-an orang di Jayapura pada 16 Oktober 2008 yang dipimpin Buktar Tabuni, Dominggu Rumaropen dan kawan-kawan menunjukkan bahwa terdapat kaitan erat di antara kelompok Inggris dengan kelompok Jayapura (Papua). Yang menarik, Benny dan jaringannya berhasil membangkitkan harapan tinggi dan eforia massa terhadap kemerdekaan Papua. Banyak anak muda Papua percaya bahwa IPWP hari itu mendeklarasikan kemerdekaan Papua. Oleh karena itu dalam sebuah wawancara Sekjen PDP Thaha Alhamid perlu menglarifikasi bahwa pertemuan tersebut dimaksudkan untuk menggalang dukungan internasional dan bukan hari kemerdekaan Papua. Ada kesan bahwa Benny dan kawan-kawan membesar-besarkan signifikansi politik IPWP.
Keberhasilan kampanye kelompok Benny tampak pula dari reaksi pemerintah Indonesia. Tidak kurang dari Duta Besar Indonesia untuk Inggris Yuri Thamrin dan sejumlah petinggi Indonesia di Jakarta memberikan pernyataan bahwa IPWP tidak signifikan secara politik karena tidak mencerminkan sikap pemerintah Inggris. Terlebih lagi, petinggi polisi dari Mabes Polri juga menyatakan bahwa Benny Wenda adalah kriminal yang melarikan diri dari penjara. Pernyataan yang dimuat di berbagai media massa itu justru menunjukkan bahwa kampanye IPWP telah berhasil membuat „stabilitas‟ Papua terganggu dan dengan sendirinya pemerintah Indonesia juga merasa terganggu. Terasa sekali bahwa counter pihak pemerintah Indonesia reaktif dan tidak berhasil membangun simpati publik internasional.
Tidak banyak
orang tahu bahwa Benny sangat kecewa dengan pemerintah Inggris. Hal ini
terlihat dari suratnya kepada PM Inggris Gordon Brown tertanggal 5 Mei 2008.
Dia mengklaim telah berkeliling Inggris dan mendapatkan dukungan rakyat
Inggris. Tetapi menurutnya pemerintah Inggris mengabaikan dukungan rakyatnya.
Singkatnya, Benny tidak melihat sedikit pun tanda bahwa pemerintah Inggris
memberikan dukungan pada gerakan Papua Merdeka. Sangat wajar bahwa Benny Wenda
kecewa dengan sikap dan pandangan resmi pemerintah Inggris. Sikap pemerintah
Inggris itu jelas terlihat di dalam notulensi percakapan di House of Lords
antara Menteri Persemakmuran Malloch-Brown dengan beberapa anggota parlemen
mengenai isu Papua pada 13 November 2007. Isu Papua itu sendiri pada saat itu
diangkat oleh Lord Harries of Pentregarth yang juga kemudian menjadi anggota
IPWP.
Menteri
Malloch-Brown menyatakan bahwa pemerintah Inggris tidak merencanakan untuk
mengangkat masalah Papua di forum Dewan Keamanan PBB. Pemerintah Inggris
menghormati integritas teritorial Indonesia dan tidak mendukung
kemerdekaan Papua. Inggris percaya bahwa pelaksanaan UU Otonomi Khusus secara
penuh adalah jalan terbaik untuk penyelesaian masalah perbedaan internal dan
stabilitas jangka panjang Papua secara berkelanjutan. Jalan terbaik untuk
mengurai isu Papua yang kompleks adalah dengan memromosikan dialog damai antara
kelompok-kelompok Papua dengan pemerintah Indonesia. Pemerintah Inggris
mengakui bahwa terdapat banyak perdebatan tentang apakah pada Pepera 1969 orang
Papua membuat keputusan secara obyektif dan secara bebas menurut keinginan
mereka. Meskipun demikian, kata Malloc-Brown, hasil Pepera 1969 sudah diterima
oleh PBB pada saat itu dan sejak itu tidak ada lagi keraguan internasional
bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia. Dalam bidang HAM, Inggris sudah
mencantumkannya di laporan HAM Kementerian Luar Negeri dan pemerintah
mengangkatnya melalui kedutaan Inggris di Jakarta. Meskipun demikian pemerintah
Inggris melihat bahwa skala pelanggaran tersebut masih relatif kecil dan tidak
bisa menjadi alasan utama (untuk kemerdekaan Papua). Kedua, karena pemerintah
Inggris tidak menerima kemerdekaan Papua, maka Inggris tidak menganggapnya
pantas untuk mengangkat isu Papua di Dewan Keamanan atau Sidang Umum.
Kekecewaan
pemerintah Inggris (terhadap pemerintah Indonesia) adalah bahwa pelaksanaan
UU Otsus tidak mengalami kemajuan akibat pertentangan antara pemerintah dengan
kelompok lokal Papua. Meskipun demikian, Inggris percaya bahwa pemerintah Indonesia di
bawah Susilo Bambang Yudhoyono lebih menghormati HAM daripada Rezim sebelumnya.
Para pejabat di Kedutaan Inggris di Jakarta telah mengunjungi Papua secara
berkala dan menemui pejabat lokal, akademisi, wartawan dan LSM, dan hasilnya
pemerintah Inggris menyampaikan keprihatinannya kepada pemerintah Indonesia.
Secara tegas Malloch-Brown mengatakan, “Saya menolak karakterisasi Papua sebagai Dafur kecil (menentang pernyataan Lord Kilclooney). ...We insist that it (Papua) should not be bracketed with major abuses such as Darfur, Zimbabwe or Burma.”
Secara tegas Malloch-Brown mengatakan, “Saya menolak karakterisasi Papua sebagai Dafur kecil (menentang pernyataan Lord Kilclooney). ...We insist that it (Papua) should not be bracketed with major abuses such as Darfur, Zimbabwe or Burma.”
(Muridan S.
Widjojo)
0 komentar:
Post a Comment